Sebuah Usaha Maya

Nandreans
Chapter #68

Yang dipertanyakan

Bingung adalah kata paling tepat untuk menggambarkan keadaanku sekarang. Setelah semua ketidakjelasan yang Mas Johan berikan, pernyataan cinta dari Mas Dirga alih-alih memberi ketenangan justru membuatku semakin tidak karuan.

Bukannya aku tidak bersyukur –sungguh aku sangat merasa terhormat, terlebih karena Mas Dirga juga orang yang sangat baik, suka membantu serta dekat dengan kedua orang tuaku. Tidak ada alasan untukku menolak perasaannya, kalau saja bisa. Namun pada kenyataannya perasaan manusia tidak sesederhana itu untuk diputar balikkan. Karena bahkan setelah hampir seminggu liburan kami berjalan, aku tetap menunggu Mas Johan meskipun tak ada tanda-tanda kalau dia akan memberiku penjelasan.

Malah, dia bersikap seolah semuanya baik-baik saja.

Mungkinkah aku yang harus bertanya langsung padanya? Lagi? Karena jujur, aku takut mengambil langkah. Takut kalau-kalau kehilangan hal baik yang seharusnya bisa diperjuangkan, termasuk hubungan kami. Sementara di sisi lain, aku juga mengerti bahwa Mas Dirga tidak bisa menunggu terlalu lama. Dia berhak menemukan orang lain kalau diperlukan.

Bukan! Bukan maksudku ingin menjadikannya cadangan, justru sebaliknya, aku sangat takut mengambil langkaah yang salah. Terlebih setelah percakapanku dengan Bunda dua hari lalu, lebih tepatnya tiga hari setelah Mas Dirga menyampaikan perasaannya.

“Memangnya kamu nggak suka sama Dirga?” Melalui panggilan video Bunda bertanya. “May, dia itu anak yang baik. Bunda sudah lama mengenalnya. Tentu Ayah dan Bunda akan sangat senang kalau dia menjadi bagian dari keluarga kita, tetapi kami juga tidak akan memaksakan kehendak. Ini kehidupanmu, Nduk. Kalian yang akan menjalaninya, bukan kami. Jadi, tolong pikirkan semuanya dengan matang. Toh, Dirga juga memberimu waktu tho?”

Kala itu aku hanya bisa terdiam, tidak berkomentar. Kutatap halaman luas di balkon kamar yang mengarah langsung ke arah hutan. Angin berembus pelan, membuat nyaman. Dan meskipun ada beberapa serangga yang kadang mampir, bukan masalah sama sekali. Aku bahkan mulai terbiasa.

“Memangnya, kamu sudah punya orang lain?”

Aku bahkan tidak yakin apakah Mas Johan bisa disebut orang lain atau pilihan lain sebab dia sama sekali tidak memberitahukan posisinya padaku. “Nggak, Bun.”

“Jangan bohong! Bunda ini ibumu, May. Bunda tahu persis bagaimana anak bunda.” Kulihat beliau menghela napas panjang. “Orang seperti apa dia?”

“Dia –”

“Kamu kenal keluarganya?”

Aku mengangguk. “Dia saudaranya Hasyim, Bunda.” Entah kenapa aku malah bilang demikian. Seakan aku takut bahwa apabila kujelaskan yang sebenarnya, Bunda akan langsung menolaknya.

“Berarti dia keluarganya Umi Sara dan Abi Ali?”

“Iya, Bun. Dari Umi Sara.”

“Umi Sara tahu?”

Aku kembali mengangguk. Tapi kali ini bukan kebohongan.

Bunda mengangguk-anggukkan kepalanya, lalu memaksakan kedua ujung bibirnya untuk naik ke atas. “Apakah masalah utamanya di sini merupakan keluarganya? Keluarga besarnya?” Pertanyaan ini bahkan belum sempat kujawab karena Bunda kembali melanjutkan, “Kita memang bukan siapa-siapa, bukan ahli ibadah maupun dari keluarga yang ahli agama tetapi selama kalian yakin, kenapa tidak? Ya, mungkin ini terkesan bias karena kami anak Bunda, tapi Bunda sangat berharap kamu jangan berkecil hati. Kalau sudah jodoh, tidak akan ke mana.

“Coba kamu tanya ke dia, maunya bagaimana? Karena yang akan menjalani hubungan itu kalian berdua. Kalau hanya salah satu yang berjuang, maka bakal sia-sia. Tidak ada ujungnya.”

*_*

Setelah selesai makan malam, ketika semua orang tengah beristirahat di ruang tengah sambil menonton film kulihat Mas Johan sedang duduk di gazebo belakang seorang diri. Di sana lah kemudian kuputuskan untuk menghampirinya. Sebagai kedok kubawakan dia segelas minuman herbal buatan Mbak Sari dalam gelas besar, lengkap dengan es batu dan biscuit cokelat yang juga telah dinikmati oleh semua orang.

Lihat selengkapnya