Sebuah Usaha Maya

Nandreans
Chapter #69

Opa Josh dan Mas Johan

Hal terburuk dari semua ini ialah bahwa aku tidak pernah menduga sebelumnya kalau semua masih bisa menjadi jauh lebih buruk.

Adalah sabtu kedua setelah panti kembali beroperasi, lebih tepatnya pada pukul setengah dua dini hari, aku menerima panggilan telepon dari Bu Anggi. Beliau memberitahuku bahwasanya Opa Joshua ditemukan tidak sadarkan diri di kamarnya setelah mengalami serangan jantung.

Meskipun dikatakan bahwa Opa sudah cukup stabil setelah dibawa ke rumah sakit, tetapi aku tidak bisa menahan diri untuk tidak langsung datang ke sana detik itu juga. Bahkan tanpa berganti pakaian tidur dan hanya menggunakan jaket tipis sebagai penghangat, aku meluncur menggunakan jasa taksi daring.

Nyatanya, meskipun hubunganku dengan Mas Johan bisa dikatakan berantakan tetapi aku masih sangat menyayangi Opa Joshua. Layaknya orang tua kandungku sendiri. Bahkan di sepanjang perjalanan tidak berhenti kupanjatkan doa untuknya, berharap supaya Tuhan mau berbaik hati memberikan kesehatan untuk Opa Joshua.

“Dia belum sadar.” Bu Anggi yang berada di bangsal rumah sakit menyambutku. “Sekarang Dokter Arumi sedang ada di ruangan dokter. Semoga saja kondisinya tidak kenapa-kenapa. Kami juga sudah menghubungi Dokter Wahyu hanya saja beliau meminta kita mengatasi ini sendiri dulu karena beliau baru akan pulang ke Jakarta beberapa hari lagi.”

Satu-satunya yang bisa kulakukan ialah meraih pinggiran kursi tunggu untuk kemudian mendudukinya. “Mas Johan sudah dikabari?”

“Sebenarnya sudah tapi belum ada jawaban. Mungkin beliau sudah tidur.” Tangan Bu Anggi menepuk-nepuk bahuku. “May, alasanku menghubungimu tengah malam begini tidak lain dan tidak bukan ialah karena pada saat dalam perjalanan …, yang dia cari hanya kamu.”

“Bukan saya, Bu, tapi Kristina.”

Bu Anggi tersenyum miris. “Sama saja. Kamu kan Kristina-nya.”

Meskipun Opa Josh menganggapku sebagai Kristina tetapi pada dasarnya aku bukan gadis itu dan tidak mungkin bisa berubah menjadi Kristina, sampai kapanpun.

Sialnya, aku justru kini membuat Opa Josh kehilangan satu-satunya anak yang dia punya. Mas Johan tidak bisa dihubungi. Nomornya tidak aktif. Padahal, kalaupun dia marah padaku …, dia seharusnya tidak perlu sejauh ini. Sampai-sampai semua orang kelimpungan mencarinya dari pagi.

“Sekarang Hasyim sedang ke rumahnya.” Devara yang baru sampai segera duduk sampingku, lalu menyodorkan tas kain yang dibawanya. “Ini makan dulu. Udang goreng buatan gue. Kalau keasinan jangan ditertawakan.”

“Makasih. Nanti aku makan.” Kuterima benda tersebut lalu meletakkannya di sisi lain dari kursi tunggu.

Devara berdecih. “Makan, Mbak May! Kalau lo nggak makan nanti sakit. Lo bahkan tadi pagi belum sarapan, kan?”

“Aku belum lapar, Dev.”

“Alasan saja itu.” Dengan cepat dia merebut tas berisi sekotak makanan tersebut, lalu membuka dan menyendoknya sebelum akhirnya menodorkannya ke depan mukaku. “BUKA MULUT!”

“Deva –”

“INI PERINTAH! BUKAN PERMINTAAN!” Ini terdengar seperti ancaman. “Kalau lo nggak mau, gue jejalkan secara paksa ini.”

Mau tak mau, aku menurut. Toh, rasanya tidak seburuk bayanganku. Sepertinya, kemampuan Deva dalam mengolah makanan tumbuh semakin baik. Padahal sebelumnya menggoreng telur saja dia bisa keasinan, seolah-olah air laut di pantai utara Jakarta pindah ke dalam wajan.

“Mbak May, sebenarnya kalian kenapa sih?”

“Kalian?”

“Lo dan Mas Hans.” Devara kembali memberiku makanan tapi kali ini tanpa nasi, melainkan udang saja. “Lagi berantem?”

Aku memang belum menceritakan apa-apa kepadanya. Pun sepertinya sekarang juga bukan waktu yang tepat untuk bercerita. Tidak ada cukup energi untukku membagikannya pada Devara. Itulah kenapa aku menggeleng. “Semua baik-baik saja.”

Lihat selengkapnya