Sebuah Usaha Maya

Nandreans
Chapter #70

Masih Perlukah Tanda Tanya?

Tidak pernah aku berhenti bersyukur mengenal orang-orang baik di panti werda tempatku bekerja sekarang. Meskipun hitungannya kami orang asing satu sama lain, akan tetapi ikatan di dalamnya bisa dikatakan jauh lebih erat dari keluarga manapun.

Senin pagi setelah pemeriksaan rutin dilakukan, para oma dan opa mengajak kami –para staff –menggelar acara doa bersama untuk mendoakan kesembuhan Opa Joshua. Aku sampai tidak bisa berkata apa-apa saking harunya sebab bagaimana mungkin orang yang pada kedatangannya paling dijauhi kini justru dinanti untuk bergabung kembali?

Seolah doa kami menembus langit, sebelum tengah hari aku mendapatkan panggilan telepon dari Tante Dean. Beliau memberi kabar bahwasanya Opa Joshua telah terbangun dari tidur panjangnya.

“Pergilah, May.” Bu Anggi langsung memberiku izin begitu kubagikan kabar baik tersebut pada semua orang di aula. “Opa Josh jauh lebih membutuhkanmu.”

“Lalu, pekerjaan saya?”

Bu Juwar yang duduk di seberang menyahut, “Sudah! Tidak perlu dipikirkan. Kamu fokus saja pada papimu.”

Tentu aku tidak mau menyia-nyiakan kesempatan baik begitu saja. Maksudku, dengan kondisi Opa Josh sekarang setiap waktu seolah adalah hal paling berharga di dunia.

Ketika aku sampai di rumah sakit, Tante Dean langsung memeluk dan menangis tersedu-sedu. Maklum saja beliau sendirian, sebab Om Tio –sama sepertiku –sedang bekerja. Sementara baik Maggie maupun Gege, seperti dua hari sebelumnya, baru akan muncul saat sore tiba. Itu sangat bisa dimaklumi mengingat kesibukan. Pun anak mereka, Kim, juga tidak mungkin ditinggal tanpa pengawasan.

“Terima kasih sudah mau ke sini. Tante benar-benar nggak tahu harus bagaimana. Mas Josh dari tadi mencari kalian. Tapi sampai sekarang Johan belum juga bisa dihubungi.”

“Tante Dean tenang dulu ya!” Aku mencoba bersikap tenang meskipun sebenarnya kesal bukan main.

Sikap Mas Johan jelas keterlaluan. Dia menghilang seolah Opa Joshua …, dia boleh saja marah kepadaku tetapi apakah perlu melibatkan ayahnya? Opa Josh tidak salah apa-apa, lalu kenapa harus kena getahnya?

“Maya boleh masuk?”

“Silakan. Dia sudah menunggumu.”

Seperti yang sudah kuduga, Opa Josh masih terlihat sangat lemah ketika aku menemuinya. Akan tetapi, begitu melihatku datang dia langsung tersenyum kemudian mengulurkan tangan kanannya padaku. “Putriku,” katanya dengan sangat lemah. Bahkan nyaris tidak ada suara sama sekali, hanya gerakan bibir semata.

“Maaf ya, Pi, aku baru bisa datang.” Aku meraih kursi di dekat pintu dan meletakkannya di samping ranjang sebelum mendudukinya. “Papi bagaimana? Ada yang sakit?” Aku meraih tangan keriput Opa Joshua. Menggenggamnya.

Pria tua itu menggeleng lemah. “Papi berpikir kalau kamu tidak akan pernah datang lagi.”

“Papi nggak boleh berpikir macam-macam. Aku selalu ada di sini untuk Papi.”

Meskipun sangat lemah Opa Josh tetap memaksakan senyum. “Maaf karena Papi gagal mendidik adikmu.”

“Lho? Papi kok bilang begitu?”

“Dia sudah menyakitimu, kan?” Ini jelas bukan pertanyaan. “Papi tahu kalau hubungan kalian sedang tidak baik-baik saja. Semua terlihat jelas, Sayang. Kalian saling menghindar satu sama lain.

Lihat selengkapnya