Sebuah Usaha Maya

Nandreans
Chapter #72

Hari-Hari Perpisahan

Jangankan bertemu, kami bahkan sudah tidak berkomunikasi lagi sejak Opa Joshua dimakamkan. Yang kudengar sekarang Mas Johan telah meninggalkan kediamannya dan pindah ke rumah ibunya.

Mas Johan telah melewati masa sulit dalam hidup selama berpuluh tahun lamanya, dia berhak mendapatkan kebahagiaan meskipun sejujurnya aku tidak bisa berhenti memikirkan dia. Aku tahu! Aku tahu! Dia memang telah memutuskan untuk menolak cintaku, tetapi salahkah bila aku tetap mencintainya? Sebagaimana yang dikatakan oleh Mas Dirga, sebagaimana kita tidak bisa memaksakan perasaan orang lain, kita pun juga tidak berhak memaksakan perasaan sendiri.

Aku menghargai keputusan Mas Johan tetapi untuk sementara waktu sebaiknya hatiku ditutup dulu. Percintaanku gagal total dalam beberapa bulan terakhir, dan jelas itu bukan pertanda bagus. Terlebih, masih ada sangat banyak hal yang bisa dilakukan sekarang, misalnya mengurus Oma dan Opa, serta mempersiapkan kedatangan Ayah dan Bunda.

Sesuai rencana, mereka akan datang dalam dua hari kedepan bahkan telah membeli tiket pesawat pulang-pergi. Bersama Devara aku membersihkan apartemen, menata perabot sebaik mungkin serta mengisi kulkas hingga penuh. Aku tak mau Bunda berpikir kalau aku tidak merawat diri dengan baik. Namun, bagian terbaik dari semua ini adalah keputusan Devara untuk diam, dia tidak pernah menyinggung soal Mas Johan sama sekali, seolah paham bahwa aku ingin beristirahat dari topik tersebut.

“Hasyim sekarang lebih sering makan masakan gue.” Devara bercerita saat membantuku memasukkan buah-buahan ke kulkas. “Katanya, masakan gue sudah lumayan enak.”

“Masakanmu yang berkembang atau lidahnya yang sudah terbiasa?”

“Kelihatannya sih dua-duanya.”

Sahabatku yang satu ini memang suka sekali bercanda. Aku yang berdiri di samping pencucian piring di belakangnya berpura-pura hendak meninju, tetapi sekali lagi dengan sigap Devara menghindar.

“Emang nggak bisa dimungkiri, resep bikinan nyokap lo enak-enak sih, Mbak May. Pokoknya, kalau besok Bunda Rahayu ada di sini gue bakal minta ajarin lebih banyak masakan. Biar si Hasyim semakin klepek-klepek.

“Memangnya dia ikan?”

“Lo baru tahu? Jelas-jelas dia putra duyung.”

Omong-omong duyung, sebenarnya ini merupakan aib terbesar seorang Hasyim. Fotonya memakai kostum duyung pernah tersebar di seluruh kampus, dan bagian terkonyol dari semua itu adalah alasannya mau mengenakan pakaian nyentrik itu. Demi membantu teman sekamarnya, Wira, yang ingin menembak adik dari teman sekelasku. Dan setelah semua usaha Hasyim, Wira pun tidak mendapatkan cintanya.

“Jangan ingatkan aku!”

“Dia bakal ngambek kayaknya kalau dengar kita ngomongin ini lagi.” Nyatanya, Devara juga tidak bisa menahan tawa. Alhasil, di sisi hari tersebut kami habiskan untuk tertawa. Sampai-sampai perutku sakit karenanya.

*_*

Tidak perlu dijemput, Ayah dan Bunda sampai di apartemenku sebelum tengah malam. Mengingat tempat ini memiliki lebih banyak kamar, mereka tidak perlu lagi menyewa hotel untuk beristirahat. Bahkan aku sudah membuatkan mereka wedang jahe yang bisa menghangatkan badan mereka setelah perjalanan jauh.

Duduk di sofa depan televisi, kami duduk bertiga lalu menelepon Fahira. Tentu saja adik bungsuku tersebut belum tidur. Dia bahkan masih segar, belum ada tanda-tanda akan kantuk sama sekali.

“Lagi nonton drakor nih!” Ira menunjukkan layar laptopnya ke kamera.

Ayah yang duduk di sebelahku mendekatkan wajahnya ke layar ponsel pintarku. “Kalau tidur jangan malam-malam.”

“Tanggung, Yah.”

“Dilanjut besok pagi saja, Nduk!” Bunda ikut memberi pengarahan. “Terus, itu kalau nonton kok lampunya remang-remang? Rusak lho nanti mripatmu, Ra.”

Lihat selengkapnya