Sebuah Usaha Maya

Nandreans
Chapter #73

Tentang Bapak dan Mimpi Buruknya

Tidak pernah kubayangkan bahwasanya bisa kembali menikmati kopi minimarket bersama Mas Johan, duduk di kursi besi sambil menyaksikan lalu lalang kendaraan bermotor di jalanan.

“Makasih!” ucapku saat Mas Johan meletakkan bagianku ke atas meja. “Aku nggak ngeh kalau yang isi ceramah di bagian laki-laki adalah Ustaz Nur, adiknya Abi. Karena terakhir kali lihat beliau masih bewokan.”

Mas Hans tersenyum, menampakkan lesung di kedua pipinya. Sumpah! Kalau boleh bilang aku sangat merindukan senyuman itu. Berminggu-minggu lamanya aku tidak melihat wajahnya. “Jangankan kamu, Deva dan Ima juga bilang begitu."

“Oh iya?”

“Maaf ya, May.”

Heh? Kenapa? Kenapa dia tiba-tiba bilang begini? Tentu saja aku melongo saat itu, mencoba mencerna situasi.

“Maaf karena terakhir kali kita bertemu,” Mas Johan menjeda ucapannya sebentar, “semuanya tidak baik-baik saja.”

“It’s ok! Malah, harusnya aku juga minta maaf karena ada di sana. Nggak seharusnya aku mendengar semua itu. Terlalu privasi buat keluarga kalian. Tapi kamu nggak usah khawatir. Aku bisa jaga rahasia kok. Toh, cowok nangis itu wajar. Bukan hanya cewek yang boleh nangis.”

Mas Johan malah tertawa mendengara penjelasanku.

“Kenapa? Ada yang lucu?”

Dia menyeruput kopi panas di tangannya dengan nikmat, lalu menoleh padaku. “Nggak. Memangnya tertawa sudah dilarang?”

“Jangan bercanda dong, Mas!” Aku berpura-pura menjotosnya. “Omong-omong, kamu belum jawab lho tadi. Kok bisa ada di sana? Nganterin Ustaz Nur atau –?”

“Bisa dibilang begitu!” Dia meletakkan gelas kopinya ke atas meja, lalu menarik napas panjang. “Apalagi selama beberapa hari terakhir aku menginap di rumah Mami.”

“Aku ikut senang dengarnya.”

Setelah apa yang sudah dia lalui, Mas Johan berhak bahagia.

“Sayangnya, aku masih kepikiran sesuatu.”

Spontan keningku berkerut, heran. “Apa? Bilang saja, siapa tahu aku bisa bantu.”

“Sebenarnya memang cuma kamu yang bisa ngasih jawaban.”

Aku?

“Ini soal pertanyaan kamu waktu itu …, kira-kira masih butuh jawaban, tidak?”

“Yang mana?”

Ada begitu banyak pembicaraan yang sudah kami obrolkan tetapi bukankau semua sudah cukup jelas? Satu-satunnya pertanyaan yang pernah kuajukan padanya ialah tentang status hubungan kami, itupun sudah dia beri jawaban. Meskipun tidak seperti yang kuharapkan.

Mas Johan lagi dan lagi tersenyum. Menandakan bahwa dia sudah membaik. Tentu saja aku senang dengan itu. “Sebelum aku pergi, kamu pernah tanya apakah aku mencintaimu.”

Oh! Ya Tuhan!

“Meskipun terlambat tapi aku akan menjawabanya sekarang, karena kamu perlu tahu bahwa satu-satunya perempuan yang pernah saya cintai –selain Mami dan Kristina –adalah kamu.”

Aku merasa sekujur tubuhku membeku. Aku senang tapi tidak tahu harus bagaimana.

Senang, tentu saja.

“Tapi bukannya kamu –”

“Sekarang aku sudah jelas, May!” Dia memotong ucapanku. “Meskipun masih perlu banyak belajar paling tidak aku tahu kemana harus ngajak kamu pulang.”

“Jadi, kamu –”

“Iya, Maya. Aku sudah kembali. Apakah kamu masih mau menikah denganku?”

Air mataku luruh. Banjir. Aku bahkan tidak tahu kenapa bisa begitu yang jelas satu-satunya pengetahuanku ialah harus mengangguk. “Aku mau, Mas.”

*_*

Lihat selengkapnya