Sebuah Usaha Maya

Nandreans
Chapter #47

Perjalanan Kembali ke Masa Lalu

Ibu tetaplah Ibu.

Sudah seharusnya aku paham dan memaklumi setiap tindakannya sebab sangat mustahil untukku –yang hanya seorang anak –sanggup mengubahnya. Itulah mengapa meskipun dilanda kecemasan selama berhari-hari, setelah pertimbangan panjang, akhirnya kuputuskan untuk menjemputnya ke kampung halaman. Meskipun sepanjang perjalanan dengan kereta aku sama sekali tidak berhenti gemetaran, membayangkan seperti apa reaksiku ketika nanti harus bertatap muka dengan Ilham dan Zahra.

Jangankan bertemu, selama beberapa bulan terakhir membayangkan wajah mereka saja aku tidak pernah sanggup. Mungkinkah aku mampu berdiri tegak di depan muka keduanya? Mampukah aku menerima status baru kami? Dan, mampukah aku menatap mata mereka tanpa berniat menghantamnya?

“Lo yakin?” Devara menanyakannya sebelum kami berpisah di stasiun.

Berkali-kali sahabatku itu mengonfirmasi, lebih tepatnya sejak kusampaikan rencana gila ini padanya beberapa hari sebelumnya.

Namun, aku tidak punya pilihan lain. “Ketimbang nyokap kenapa-kenapa.” Bersusah payah aku mengembangkan senyuman palsu, mencoba meyakinkan diri sendiri sebelum akhirnya memutuskan naik ke dalam gerbong. Dan, di sinilah aku sekarang. Di dalam kereta yang melaju cepat meninggalkan Jakarta.

Bisa dibilang kalau tahun ini ialah tahun tersibukku. Sudah dua kali aku pulang setelah bertahun-tahun lamanya absen, dan sialnya semua bukan karena sesuatu yang menyenangkan apalagi kuinginkan.

*_*

Ibu:

Wis tekan endi, May?

Sepure wis ning stasiun endi?

Adalah pesan yang kuterima dua jam lalu tetapi belum kubalas sama sekali, aku bahkan sengaja tidak membukanya. Sebenarnya, kereta yang kutumpangi sudah sampai di stasiun tujuan sejak setengah jam lalu tetapi karena hari masih pagi, aku harus menunggu setidaknya sampai ada kendaraan yang bisa membawaku pulang, sebab aplikasi ojek daring di ponselku tidak menunjukkan tanda-tanda akan segera mendapatkan pengemudi.

Kuputuskan untuk mampir ke warung madura di seberang stasiun guna membeli segelas air mineral dan mi instan gelasan. Bukannya apa-apa, aku kelaparan dan tidak ada satupun warung nasi yang buka sementara perutku keroncongan. Maklum saja, aku tidak menelan makanan sama sekali kemarin. Lebih tepatnya, tidak napsu. Baru sekarang lah perutku keroncongan.

Kuah mi yang panas setidaknya bisa membuatku merasa lebih baik meskipun terlalu banyak penyedap bautan di dalamnya. Kunikmati makan malam yang telanjur pagi ini dengan penuh penghayatan di depan warung, ditemani sepasang suami istri yang tengah menonton televisi di dalam bagunan. Sedangkan aku duduk di kursi plastik, menatap jalanan sepi dan gelap di sisi kanan dan kiri. Seolah-olah tidak ada kehidupan lain di sini.

Dari kejauhan terlihat sorot lampu mobil yang perlahan melambatkan lajunya. Benar saja, mobil itu kini berhenti di tepat di depanku. Seorang pria turun dan bergegas menuju warung.

“Rokok, Mas!” katanya sambil memilih salah satu merk rokok dari etalase.

Lihat selengkapnya