Aku masih duduk di sini. Menatap jelaga pada langit malam, sementara embusan bayu mengacak anak rambut yang mengurai berantakan di pelipis. Beberapa riuh dari kanan kiri mengusik telingaku. Bukan dalam artian buruk, hanya saja aku merasa terbebani dengan sendirinya saat mereka bercengkrama tentang gambaran keluarga harmonis.
Rasanya membuatku mual, hampir saja aku meloloskan desahan kasar sampai aku menyadari bahwa hancurnya rumah tanggaku, bukan karena kesalahan orang lain.
Aku, seorang yang telah menyelesaikan babak akhir dalam kacaunya kehidupan. Aku juga, seorang yang dengan pongah telah menantang dunia dan semesta, bahwa suatu saat nanti, semua yang telah menyakiti akan menunduk di kakiku, menyembah laksana budak pada berhalanya.
“Pulang?”
Aku menoleh, lalu mengangguk cepat dan bergegas berdiri. Secepatnya aku ingin meloloskan diri dari hiruk pikuk kebahagiaan yang dipancarkan dari setiap aura manusia di taman ini. Sekali lagi, aku tidak membencinya, hanya sedang tidak ingin bersahabat.
Katakanlah, aku sedikit alergi dengan cerita harmonis.
“Anak-anak sudah tidur?” tanyanya lagi.
“Sudah,” jawabku. “Mereka lebih cepat tidur bersama dengan neneknya daripada denganku.”
“Syukurlah, setidaknya mereka tidak sempat melihat ibunya baru saja menangis sampai matanya membengkak.”
Tawa kecil lewat dari deretan gigiku yang masih mengatup rapat. Dari kejamnya kehidupan yang terus menghantamku tanpa berniat sedikit pun memberi jeda, setidaknya aku masih memiliki sahabat yang dengan setia menculikku saat mendengar keasadaranku terganggu oleh cerita lama.
“Sudah hampir empat tahun, dan kau masih tidak bisa melepasnya?”
Mulutku berdecak secara otomatis, pertanda bahwa yang dikatakan olehnya adalah omong kosong.
“Dengarkan aku, Tuan Putri Erika. Aku sudah melepasnya sejak aku yakin untuk menyerahkan berkas gugatan di pengadilan agama waktu itu. Tidak ada lagi namanya dalam hidupku. Dia telah mati bagiku.”