Impian untuk merajut kehidupan dengan untaian kebahagiaan, nyatanya tak lagi kurasakan. Kehangatannya telah memudar, perlahan mengurai harapan yang dari awal telah kupintal dengan doa dan keyakinan.
Dalam setiap tamparan yang seringkali kuterima saat berselisih paham, diam-diam aku mulai menyalahkan diriku sendiri. Kata seandainya menjadi pembuka yang tepat pada alinea rumah tanggaku.
Seandainya aku bisa lebih sadar dan tidak berdebat tentang kebenaran yang sengaja dikaburkan olehnya, seandainya aku tutup mata ketika mengetahui bahwa ia mulai menyematkan cintanya pada hati wanita lain, dan seandainya aku tidak menunjukkan rasa cintaku sepenuhnya.
Atau, seandainya aku tidak menikahinya.
Oh tidak. Jika aku tidak menerima pinangannya waktu itu, bisa jadi aku tidak akan mendapatkan dua malaikat yang sampai detik ini menjadi satu-satunya alasanku untuk tetap bernapas dan hidup.
Hanya mereka satu-satunya hal yang tidak pernah kusesali karena menikah dengannya. Selebihnya, telah melebur menjadi limbah kehidupan yang setiap harinya masih meninggalkan residu kebencian yang tidak kunjung hilang.
Hari ini, ketika aku duduk di depan pria yang mencoba untuk kembali masuk ke dalam kehidupanku, aku mulai bertanya-tanya tentang berapa hal. Kebaikan yang ia berikan padaku saat ini, sampai kapan masanya akan bertahan? Kapan ia akan mulai menyakitiku, atau kapan ia akan mulai menunjukkan sikap aslinya?
Semua hal buruk itu berputar di otakku. Aku yakin ia menyadarinya, karena sedari tadi, tatapan mataku tak kuturunkan sedikit pun dari iris cokelat gelap yang terus menatapku lembut.
Namanya Sage, terdengar unik, sangat unik sampai selama beberapa tahun yang lalu aku sempat tergila-gila padanya. Namun karena perasaan labil yang bahkan jika kubanyangkan saat ini terasa sangat menggelikan, hubungan kami berakhir begitu saja, bahkan saat belum sempat untuk memulai.
“Aku tahu apa yang sedang kau pikirkan, Jihan.”
Sage membuyarkan pergolakan batinku yang semakin menderu. Sudah dua kali aku bertemu dengannya lagi setelah perpisahan sekitar lima tahun yang lalu. Tanpa sadar aku menghela napas, sungguh sebuah sikap yang tidak sopan. Namun Sage hanya tersenyum, tidak protes sama sekali dengan apa yang telah kulakukan.
“Kalau kau sudah tahu, bukankah sudah seharusnya kau berhenti? Kau hanya akan mendapatkan kekecewaan jika terus mengharapkanku,” ucapku, tanpa perasaan.
“Justru aku akan kecewa dan menyesal jika tidak mencobanya saat ini.” Sorot mata Sage terus terarah padaku, sedikit membuatku risih. “Aku pernah kehilangamu sekali karena kebodohaku, dan saat ini aku tidak akan pernah melepasmu lagi, apa pun halangan dan rintangannya.”