Secangkir Alasan

Cassiel Ruby
Chapter #3

3. Kau Luar Biasa

Bayangan dalam pekat itu terus memburuku, tak peduli sejauh mana aku berlari. Sesak, sakit, tak bisa bergerak lagi. Sementara ada sesuatu yang tengah menarik tanganku ke sisi yang menyilaukan. Aku terlalu takut, sehingga kuentakkan sesuatu itu, dan membuatku kembali pada pekat, terjatuh di kubangan jelaga yang membutakan.

Satu tarikan napas panjang berhasil membebaskanku dari himpitan kelam yang semakin mencekam. Tubuhku tersentak, seketika terduduk dengan napas tersengal dan peluh yang telah membasahi.

Aku menghela napasku dalam-dalam. Entah sampai kapan teror malam yang selalu masuk ke dalam mimpi itu akan berakhir. Sudah hampir empat tahun, dan rasa trauma itu masih ada, menjelma menjadi rasa takut yang terus mengincarku di kegelapan malam.

Nala dan Kala masih terlelap, tak terganggu dengan deru napasku yang mendominsasi keheningan. Setidaknya, pikiranku masih mampu untuk berpikir logis ketika akan melakukan hal yang berujung merugikan.

Kuraih ponselku, hampir jam 2 pagi, dan selalu di jam ini diriku seakan dipaksa bangun oleh semua hal kelam di mimpiku. Kurasa itu dari semua kekacauan di alam bawah sadarku yang sepenuh telah dirusak oleh keadaan, dan kenyataan.

Entahlah, yang jelas... aku merindukan rasa tenang yang telah lama tak kurasakan.

Satu pesan dari Sage terlihat di notifikasi. Sudah beberapa jam yang lalu sebelum aku ikut tidur bersama dengan Nala dan Kala.

‘Aku akan membawa satu alasan setiap hari agar kau mau membuka hatimu untukku.’

Oh, Sage... apa yang harus kulakukan denganmu?

Kuusap mukaku dengan kedua tangan, penuh penekanan sampai menimbulkan jejak panas setelahnya. Kalau sudah seperti ini, jelas aku tak akan bisa terlelap lagi. Sekali lagi kupandang Nala dan Kala, apakah sudah waktunya kami untuk membuka lembaran baru?

***

Siang ini aku harus pergi ke acara pembukaan cafe milik kekasih Erika. Jika tidak, bisa-bisa aku dicoret dari daftar bestfriend forever selamanya. Nala dan Kala sengaja kutitipkan pada neneknya karena mereka harus sekolah. Satu lagi, hari ini aku perlu kembali menjernihkan pikiranku.

Pesan dari Sage semalam belum kubalas, dan memang tidak ada niatan untuk membalasnya. Setelah kupikirkan lagi, lebih baik jika Sage menghindar dari kehidupanku yang telah rusak. Ia tidak akan pernah menemukan kebahaiaan di duniaku. Aku yakin itu.

Lagipula, status jandaku dengan dua anak, tentu tidak akan dengan mudahnya diterima oleh banyak orang. Sementara Sage adalah pria single dengan segala kemapanan dan ketampanannya. Hal itu tidak akan pernah terjadi, aku sadar dan paham dengan kedudukanku sekarang.

Tidak ada yang akan mengambil bunga yang telah dipetik oleh orang lain, dan kemudian digeletakkan begitu saja di genangan kegagalan.

Suasana di cafe belum begitu ramai. Sengaja aku datang lebih awal dari jam acara karena tidak ingin berinteraksi dengan banyak orang. Mengambil kursi paling ujung, dan hampir tersembunyi dari sudut pandang banyak orang, aku memilih untuk membuka laptop-ku dan kembali mengejar deadline harian novel yang harus kuposting setiap harinya di sebuah pltaform novel online.

Satu-satunya impian tersisa yang sedang kuwujudkan kesuksesannya. Setelah bertahun-tahun dilarang oleh mantan suamiku yang menganggap hal itu adalah sia-sia. Kilasan kenangan itu kembali masuk dalam pikiranku, mengusik, mencoba untuk membangkitkan sisi anxiety dalam diriku yang setiap hari kutekan agar tak sampai muncul ke permukaan.

Empat tahun lalu,

“Kau tidak lihat kantung matamu sudah semakin menghitam?? Aku tidak bisa membelikanmu perawatan wajah, jadi bagaimana caranya kau merawatnya dengan baik! Bukan malah begadang sepanjang malam hanya untuk menghalu!” sentak Bara, sambil menyambar laptopku.

Lihat selengkapnya