Tidak ada yang kuucapkan setelah mendengar jawaban Sage. Jawabannya itu, jelas aku mendengarnya, tapi hatiku tak bisa menerimanya dengan baik. Apakah ia berkata sesungguhnya, atau semua itu hanya caranya untuk meluluhkanku?
Gejolak perasaan yang membingungkan ini tak pernah kusukai. Aku membencinya, berharap bisa kabur di balik jelaga tanpa harus bersusah payah untuk terlihat baik-baik saja. Seandainya bisa, tapi tampaknya semesta tak pernah mengizinkanku untuk melarikan diri.
“Jihan....”
Sage mengibaskan sebelah tangannya, tepat di depan wajahku. Sesaat kibas itu seakan menjadi latar belakang dari berisiknya isi kepalaku. Seakan ada dengungan kencang yang memblokir pendengaranku untuk sesaat, dan berkat panggilan lembut itu, Sage kembali membawa jiwaku untuk kembali pada raga.
“Apa yang membebani pikiranmu saat ini, Jihan?”
Sorot mata itu masih menatapku. Terlihat intens, tapi dipenuhi rasa kekhawatiran di balik iris cokelat gelapnya. “Bukan apa-apa. Bukan hal yang penting untuk dibahas.”
Bohong.
Justru itu adalah hal terpenting yang harus kutanyakan pada orang yang akan masuk ke dalam kehidupanku lagi.
“Jihan, penting tidak penting, kau bisa membaginya denganku.” Sage mengatakannya tanpa beban. “Anggaplah itu adalah alasanku hari ini agar kau mau menerimaku.”
Oh, Sage. Kenapa kau terus menyulitkanku dengan perasaanmu itu?
Aku memilih untuk tidak menjawabnya. Penolakan dariku pun tidak pernah ia dengarkan. Sementara yang bisa kulakukan hanya diam, menganggapnya tidak pernah mengatakan apa pun padaku.
“Bagaimana kabar Nala dan kala?” tanyanya lagi.
Curang. Mana mungkin aku mengabaikannya jika ia menanyakan tentang anak-anak?
“Baik. Nala masuk ke TK B dan Kala ada di kelas bermain.” Jawaban sederhana tanpa ingin melanjutkan lagi ke pembahasan selanjutnya.
“Aku tahu kalau itu. Nala ada di TK B, dan Kala ada di kelas bermain. Mereka satu gedung sekolah, jadi kau merasa aman saat membiarkan mereka belajar bersosialisasi.”
Aku terdiam. Sedang mengingat apakah aku pernah memberikan informasi itu pada Sage sebelumnya, atau....
“Erika yang memberitahumu? Atau kau yang mencari informasi itu padanya?” tanyaku, dengan sorot mata yang menuduh.
Sage mengangguk. Ia bahkan tidak mengelaknya. Dari dulu, sikapnya memang selalu tenang—atau setidaknya seperti itu saat bersamaku.
“Aku mencari informasi tentangmu pada Yesa, dan Yesa menanyakannya pada Erika. Yah, bisa dibilang aku mendapatkan informasi dari Erika secara tidak langsung.”
Kuhela napasku dalam-dalam. Aku mulai tidak peduli dengan sopan santun yang harus kujaga saat berbicara dengan orang lain. Mungkin, jika aku lebih sering menunjukkan sikap burukku pada Sage, maka dengan sendirinya ia akan menghindar dan melupakan keinginannya untuk bersamaku.