Secangkir Alasan

Cassiel Ruby
Chapter #5

5. Menjadi Wanita Mandiri

Aroma kopi yang kubeli di minimarket coffe shop minimarket pagi ini berhasil membangunkanku sepenuhnya. Nala dan Kala baru saja berangkat ke sekolah. Menurut pemberitahuan di grup semalam, hari ini  mereka hanya membutuhkan satu jam saja di sekolah. Terlalu tanggung buatku kembali ke rumah. Jadi, aku memutuskan untuk menunggunya di minimarket terdekat, dengan menikmati es latte favoritku.

Beberapa pemuda dan pemudi yang duduk di zona nongkrong terlihat sibuk dengan urusannya masing-masing. Aku tidak ingin menguping, tapi aku bisa mendengar dari tempat dudukku dengan jelas. Di antara mereka ada yang membicarakan tentang pekerjaan, hubungan romansa yang membara, dan rencana besar yang sedang mereka rencanakan.

Kuhela napasku dalam-dalam. Jika boleh jujur, rasanya seperti ada sembilu yang mengoyak dalam dari dalam diriku. Aku juga pernah memiliki mimpi besar tentang pekerjaan, cita-cita, dan cinta. Namun semuanya hancur lebur hanya karena aku memutuskan untuk menikahinya.

Aku menoleh ke arah minimarket, ingatanku langsung terbawa pada empat tahun lalu. Ada beberapa pengalaman buruk yang berhubungan, membuat denyutan dalam dadaku merasakan kembali perihnya.

 

Bandung, 2020

“Bar, aku butuh pergi ke ruko depan untuk beli susunya Nala. Titip anak-anak dulu bisa? Atau, kau ikut saja karena aku nanti sepertinya sedikit kesusahan kalau membawanya sendirian.”

Bara sontak menatapku dengan tatapan tidak sukanya. Ponsel yang dia genggam dari tadi diturunkan sebentar dari fokusnya. Game. Aku tidak pernah melarangnya untuk main game, tapi aku merasa risih jika setiap waktunya selalu diisi dengan game, sementara anak-anaknya juga butuh waktu bersama papanya.

“Jadi wanita itu harus mandiri. Jangan semuanya tergantung sama suami. Ruko depan juga dekat, kan? Jalan sebentar sudah sampai. Ajak saja anak-anak. Mereka butuh udara luar. Jangan diam di rumah terus.”

Aku ingin mendebat lagi, tapi rasanya percuma. Bara kembali fokus dengan game nya, dan semakin menyamankan dirinya dengan rebahan di atas kasur. Mau bagaimana lagi? Aku hanya bisa menghela napas setiap mengingat kelakuannya.

Bara selalu merasa dia telah memberikan nafkah untuk istri dan anak-anaknya—yang  bahkan kami masih merasa kekurangan dengan semua cicilan dan tagihan yang ada. Setelah menerima jatah bulanan dari Bara, aku selalu mendahulukan untuk membayar tagihan dan cicilan, dan juga kebutuhan anak-anak agar terpenuhi selama satu bulan. Untukku sendiri? Jangan ditanya. Di dompet sisa seratus ribu saja aku sudah bersyukur.

“Ayo, Nala. Kita pergi beli susu di ruko depan, yuk. Sebentar, Mama ambil gendongan dulu buat Kala.”

Nala berdiri, menatapku dengan mata cemerlangnya. Sementara Kala yang belum genap berumur setahun merangkak cepat saat melihatku mengambil gendongannya.

Sebelum keluar dari kamar, aku menoleh lagi pada Bara. Dia sama sekali tidak peduli, menoleh pada kami pun tidak. Ah, sudahlah. Kuhela napasku lagi, dan kutuntun Nala menuju ke ruko depan.

Berangkat tidak menjadi masalah. Kami bertiga masih bercanda dan melompat bersama di genangan air yang ada di jalanan. Nala selalu senang saat kuajak keluar seperti ini. Sementara Kala selalu anteng di gendongan.

Namun ketika aku sudah selesai berbelanja dua kardus susu UHT kemasan kecil untuk Nala, hatiku rasanya seakan diremas-remas. Aku tahu ini bukan apa-apa. Maksudku, tidak seharusnya aku mengeluh saat dihadapkan pada situasi ini. Namun, ada sisi tidak terima dalam diriku.

Kenapa Bara tidak bisa meluangkan waktunya sebentar saja untuk mengantarku. Mungkin jika dia terlalu lelah untuk mengantarku, kenapa tidak mengiyakan sebentar permintaanku untuk bersama dengan anak-anak di rumah sementara aku yang pergi untuk membeli susu? Saat ini aku harus menggendong Kala di tangan kiriku, dan menenteng dua kardus susu UHT di tangan kanan, sementara Nala memegang ujung telunjuk tangan kiriku untuk kupastikan jalannya tetap aman di sampingku.

Yah, tapi memang apa yang bisa kuharapkan dari Bara? Dia merasa tugasnya hanya mencari nafkah, sementara tugasku adalah merawat anak, rumah, dan menjadi wanita mandiri.

Bonusnya, aku sampai kuat angkat galon sendirian sejak aku berumah tangga dengannya, dan berani untuk memasang tabung gas sendiri.

Malamnya, seperti biasa aku mencuci piring dan botol-botol susunya Kala. Bara mendekatiku, berdiri tepat di belakang dan menurunkan kepalanya sampai pundakku.

“Kalau melakukan pekerjaan rumah itu yang cepat. Jangan lelet!” bisiknya, lalu pergi begitu saja ke dalam kamar.

Gerakan tanganku yang sedang mencuci botol langsung berhenti. Di dalam dadaku rasanya bergemuruh hebat. Dia bahkan tidak pernah membantuku sedikit pun untuk urusan pekerjaan rumah.

Lihat selengkapnya