Entah aku harus bereaksi apa ketika masuk ke dalam rumah, kedua orang tuaku bersama Nala dan Kala menyambutku dengan kue ulang tahun, lengkap dengan nyanyian dan lilin yang menyala.
Bingung dengan apa yang harus kulakukan, aku hanya berdiri di tempatku tanpa mengucap satu patah kata pun. Dari belakang, Sage mendorongku lembut sambil membisikan kata yang membuatku tersadar dari rasa terkejut yang tak berkesudahan.
“Keluargamu ingin merayakan rasa bahagianya karena telah melahirkan putri tercinta yang sekarang menjadi ibu dari dua malaikat kecil itu.”
Seketika, air mataku kembali meleleh. Ternyata aku masih seberharga itu? Dari semua hal yang telah kualami, ternyata keberadaanku masih dianggap spesial oleh orang lain.
“Mamaaaaa, selamat ulang tahun!” Nala dan Kala menghambur ke pelukanku.
Rasa sesak di dalam dadaku menjalar ke seluruh serat tubuh, membawa tangis haru yang memecah rasa rendah diri.
Kedua orang tuaku mendekat, dengan wajah bahagianya. Ibuku yang selama ini telah membantuku banyak dalam hal apa pun, membawa kue ulang tahun dengan satu lilin menyala. “Jihan, terima kasih karena telah lahir dari rahim Mama. Terima kasih karena telah kuat menjalani semua hal yang telah digariskan takdir untukmu, dan terima kasih karena kau tetap bertahan meskipun Mama tahu semua itu tidak mudah untukmu.”
Tangisku pecah. Kedua orang tuaku bukan tipe yang mudah untuk mengungkapkan perasaannya. Aku tahu mereka menyayangiku, tapi aku tidak pernah sekalipun mendengarkan mereka mengatakan menyayangiku.
“Kau anak kebanggaan kami, dan selamanya akan terus seperti itu. Tidak peduli situasi apa pun yang sedang kau jalani, kau tetap anugerah terindah yang diberikan Tuhan pada kami. Selamat ulang tahun, Jihan.”
Kalimat kedua dari seorang ayah yang bahkan jarang berbicara denganku, semakin membuatku terisak. Lalu, pelukan hangat yang tak pernah kurasakan juga mereka berikan padaku. Rasanya hangat.
“Mamaaa, Mamaaaa... peluk juga!” Kala menarikku lagi, meminta untuk mendekap pada pelukanku. Nala pun melakukan hal yang sama.
“Yuk, sekarang tiup lilin lagi.” Sage menepuk pundakku dengan lembut, menyadarkanku dari perasaan haru yang membiru.
Kutatap sebentar wajah Sage. Aku tahu acara ini pasti juga atas dasar rencananya. Entah apa yang telah ia bicarakan dengan keluargaku, tapi aku yakin ia adalah orang di balik ini semua.
Untuk itu, aku benar-benar harus berterima kasih padanya dengan cara yang benar.
“Jihan, ucapkan doamu lagi sebelum meniup lilinnya.” Sage mengatakannya, sambil tersenyum saat kuintip dari sudut mataku.