“Aku masih belum berani, Erika.”
Hanya itu yang bisa kukatakan pada Erika saat ia memintaku mencoba untuk menciptakan masa indah bersama dengan Sage.
“Apakah kau masih merasa kalau kau adalah orang yang bersalah karena gagalnya pernikahanmu dengan Bara?” Erika seakan mampu membaca pikiran terdalamku.
“Aku terkadang masih memikirkannya. Hal apa yang telah kulakukan di masa lalu sampai akhirnya Bara berubah menjadi seperti itu. Dan setiap kali aku memikirkannya, itu membuatku menjadi takut akan melakukan hal yang sama pada hubunganku selanjutnya. Aku takut mengecewakan Sage, dan akhirnya dia berubah menjadi seperti Bara juga pada akhirnya.”
Aku tidak tahu apakah itu terdengar hanya seperti sebuah alasan, tapi aku sungguh merasakannya. Jika kupikir lagi, mungkin aku juga memiliki andil dalam berubahnya sikap Bara. Seperti saat awal-awal pernikahan kami, tiga bulan setelah menikah aku langsung hamil Nala, dan aku merasakan payah yang luar biasa dalam kehamilanku.
Harus sering bedrest karena kahamilanku ternyata mengalami Plasenta previa—kondisi dimana plasenta menutupi jalan lahir dan mengakibatkan pendarahan berulang kali sampai ada jaringan plasentanya yang rontok. Karena itu, kondisi fisikku menurun drastis. Yang kurasakan sepanjang hari hanyalah lelah, ingin merebahkan tubuhku di kasur, dan tidak melakukan apa pun.
Setelah melahirkan, aku terlalu lelah untuk mengurus bayi baru lahir. Bara hanya pernah membantuku sesekali saat Nala benar-benar baru lahir, dan setelahnya ia bahkan tidak peduli apakah Nala menangis di malah hari, atau aku harus begadang semalam karena Nala rewel, dan di pagi hari merasakan lelah yang luar biasa sampai aku selalu bangun siang.
Aku merasa itu adalah satu kesalahan yang membuat Bara menjadi bersikap kejam padaku. Ia tidak merasa aku bisa melayaninya sebagai seorang suami. Namun, aku yang tidak pernah setuju dengan budaya patriarki merasa sikapnya sangat tidak masuk akal. Ia bahkan tidak merasakan lelahnya mengurus anak. Namun ia selalu mengatakan kalau yang paling lelah adalah dirinya karena harus mencari nafkah dari pagi sampai malam.
Ditambah lagi, bentuk tubuhku yang tidak langsung kembali seperti masih gadis setelah melahirkan. Ia bahkan terang-terangan mengatakan bahwa pria adalah makhluk visual, jangan sampai ia lebih suka melihat rekan kerjanya daripada melihatku yang terlihat buluk di rumah.
Kalau dipikir-pikir lagi, sejak awal ia memang telah menghancurkan kepercayaan diriku dengan kejamnya.
“Jihan, perlu aku tuliskan daftar keburukan Bara padamu? Kodrat wanita apakah menjadi pembantu setelah berumah tangga? Tidak! Kodrat wanita hanya menstruasi, melahirkan, menyusui. Selain itu, para lelaki tidak ada hak untuk memaksa wanita melakukan semuanya. Kesalahanmu hanya satu, menikahi pria patriarki yang tidak tahu diri.”
Erika sangat bersemangat saat mengatakannya. Yah, tentang masalah kodrat itu pun aku sudah seringkali memikirkannya. Aku tahu Bara memang keterlaluan. Namun tak lantas langsung membebaskanku dari rasa bersalah yang menurut Erika tidak seharusnya kurasakan.
“Ingat, Jihan. Sage bukan Bara. Jangan terus-terusan membandingkan mereka dari sisi yang membuatmu menjadi takut tuntuk melangkah ke depan. Sage bukan laki-laki NPD seperti Bara. Dia bahkan dengan tulus tetap mencintaimu meskipun kau telah menjalani kehidupanmu dengan Bara waktu itu. Dia juga kan, yang mengulurkan tangan untukmu setelah tahu masalahmu dengan Bara?”
Aku mengangguk. Tidak ada yang aku bantah dari ucapan Erika. Jika dilihat dari sikap Bara, sepertinya pria itu memang mengidap penyakit mental Narcissistic Pernonality Disorder.
“Karena itu, jangan lagi membanding-bandingkan Sage dan Bara. Kau harus mulai bisa melihat ketulusan Sage, alih-alih menatap ketakutan yang belum tentu terjadi. Waspada memang bagus, Jihan. Tapi menutup pintu hati pada orang yang tulus, itu yang tidak boleh kau lakukan.” Erika mengatakannya dengan tegas, dengan tatapannya yang dari tadi tidak ia turun dari sudut pandangku.
Kuhela napasku dalam-dalam. Situasi ini menjadi semakin rumit. Semua ucapan Erika tadi masih kucoba untuk memahami. Mungkinkah Sage benar-benar tulus dengan sikapnya padaku?
**