Malang, 2021
“Kalau memang mau cerai, cepat urus semuanya! Jangan nanggung-nanggung!”
Itu adalah perkataan Bara yang kuingat saat semalam ia mengirim pesan padaku. Terdengar sangat lucu, ketika ia di awal dengan tegas memilih Ayin sampai aku memutuskan kembali ke rumah orang tuaku di Malang. Lalu selang satu bulan kemudian ia memohon-mohon agar aku memikirkan semuanya, berjanji untuk tidak melakukan kesalahan lagi, dan terus bertanya apakah tidak ada kesempatan lagi baginya.
Sekarang, aku benar-benar telah memutuskan akhir dari hubungan kami, dan ia marah-marah karena merasa paling teraniaya dan menjadi korban. Ia bahkan terus melontarkan kata kasar padaku, anj*ng; t*i, br*ngsek, dan lain-lain.
Lebih lucunya lagi, ia menyuruhku cepat-cepat mengurus semuanya tanpa mau mengeluarkan biaya panjar untuk perceraian dengan alasan karena aku yang menggugatnya. Demi apa pun lagi, ia membalikkan fakta pada kakak kandungnya yang berada di Bandung jika aku yang meminta cepat-cepat untuk mengurus perceraian.
Jelas aku tidak terima. Aku kirim semua bukti chat antara aku dan Bara yang menunjukkan bahwa ia yang setiap hari menanyakan kabar dari proses perceraian kami, dan selalu mengatakan untuk memrosesnya dengan cepat.
Meskipun Bara telah menghancurkanku sampai akar-akar kepercayaan diriku tumbang, aku tidak akan mengizinkan ia membalikkan fakta ucapannya dan menekankan pada semua orang bahwa aku yang bersalah.
Itulah kenapa aku selalu tidak mau melakukan perdebatan di telepon. Aku selalu menolak berbicara dengannya, tapi melayani perdebatan melalui chat. Karena apa? dengan begitu aku memiliki bukti kuat tentang semua ketikan kasar dan ucapan yang menunjukkan bahwa hubungan kami memang tidak bisa diselamatkan.
Beberapa percakapanku dengannya yang bisa dijadikan bukti kuat di pengadilan telah kucetak di atas kertas. Begitu juga dengan pengakuan Ayin yang mengatakan bahwa ia mencintai Bara saat masih berstatus suamiku, bahkan menjelek-jelekkanku yang tidak becus menjadi istri Bara. Tak hanya itu, percakapanku dengan Nana, selingkuhan pertama Bara pun juga telah kuamankan. Nana mengakui bahwa mereka menjalin hubungan yang dekat, dan ia berjanji untuk tidak kembali lagi ke kehidupan Bara.
Yah, Nana memang menepati janjinya, tidak seperti Ayin yang justru terus mencari celah untuk bersama Bara. Namun, fakta mengejutkan yang terjadi adalah, Nana kembali menjalin hubungan dengan suami orang yang juga merupakan rekan kerja Bara—dan aku mengenalnya.
Entah apa yang dipikirkan oleh para gadis itu. Kenapa mereka terobsesi dengan pria yang telah beristri.
Pagi ini aku kembali mengunjungi Pengadilan Agama untuk mengurus perceraianku dengan Bara. Sudah beberapa kali aku datang, tapi selalu kehabisan nomor antrian. Cukup terkejut karena banyak sekali antrian perceraian setiap harinya.
Pada akhirnya, aku kembali kehabisan nomor antrian. Padahal aku sudah datang jam 6 pagi, sementara Pengadilan Agama baru buka jam 8 pagi. Dengan terpaksa, aku membawa pulang berkas-berkasku dan mencoba lagi keesokan harinya.
Dalam langkahku menuju ke parkiran, aku melihat ada seorang pria yang aku kenal. Ia adalah rekan kerja dari Bara, yang sekarang telah bersama dengan Nana. Melihat itu, aku langsung menemui mereka dan kusapa pria itu dengan ramah. Begitu juga dengan Nana, aku bahkan tersenyum lebar padanya.
“Hei, Nana, ya? Akhirnya kita bertemu juga ya, Na,” sapaku.
Nana terlihat bingung. Ia memang tidak pernah bertemu denganku langsung. Ia hanya tahu bahwa Jihan adalah istri Bara, tanpa memperhatikan wajahku. Jelas saja ia terlihat bingung, ia menoleh pasa rekan kerja Bara yang saat ini menjadi suaminya dan bertanya, “Siapa?”
“Ini Mbak Jihan, istri Pak Bara.”
Sontak saja wajah Nana mendadak pucat. Ia menatapku dengan canggung, lalu tersenyum terpaksa sambil melihatku takut-takut. “Oh, Halo Mbak. Apa kabar?”