“Harus di sini, ya?”
Aku mendengar nada risih dalam kalimat gadis bercadar itu saat melalui pintu kafe. Yah, pintu sedang tidak dibuka lebar, tapi dinding kacanya memperlihatkan secara total dalam dan luar ruangan. By the way, soal gadis bercadar tadi ... datangnya bareng seorang teman yang punya usaha makanan manis di dekat kafe.
“Namanya Azizah,” kata teman yang kumaksud sebelumnya. Ferdy.
Gadis itu mengenakan lapisan kain yang menutup hampir seluruh wajahnya, kecuali mata. Mungkin sarung tangan juga. Berbeda dari para gadis yang sering kujumpai.
“Hai! Aku Abyan. Pertama kali ke sini?” Hanya sekadar berbasa-basi, karena aku tahu gadis seperti Azizah mungkin tidak akan mau berjabat tangan. Namun, lengkung di mata dan anggukan sudah cukup menunjukkan jika dia tersenyum.
Tangan kananku menunjuk pada bangku kosong di salah satu sisi yang lumayan luas untuk menjaga jarak. Syukurnya kafe yang ini jauh lebih luas dari kafe yang pertama kali buka dulu. Hanya beda desain. Lebih ke Skandinavian, memaksimalkan cahaya alami dari luar ketika siang seperti ini.
“Mau minum sesuatu? Keburu barista andalan kita baru datang.” Kutunjuk pemuda yang baru meneguk air dari botolnya saat sampai di salah satu kursi kayu.
“What? Aku baru napas, Kak Byan.” Namanya Andi. Logatnya agak keras meski hatinya lembut. Nevermind. Dia punya prinsip buat nggak pacaran, tapi sering ngebaperin anak orang.
Aku terkekeh sejenak, lalu menawarkan lagi. “Andi abis bawa oleh-oleh resep dari calonnya di Medan. Kali mau nyobain kopi versinya.”
“Kak Byan!” Andi benar-benar menegurku.
“Oke. Aku yang buat. Espresso aja, gimana? Capuccino? Mocha?”