"Permisi. Apa ini sudah buka?" tanyamu sambil mengetuk kaca di depan tanda open kafe. Saat itu, rambut keritingmu mengingatkanku pada sosok Merida, putri disney, namun dengan warna kelam.
Pertama kali aku melihat kekonyolan seorang gadis sepertimu ketika sadar pintu yang kutunjuk beberapa meter di sisi kanan yang terbuka lebar.
Sulit sembunyikan lengkung bibir ketika kamu justru menunduk, lebih tepatnya membungkuk saat menyadari tatapan orang-orang di dalam ruangan.
"Perlu kupilihkan sesuatu?" Salah satu buku menu dari tumpukan di tanganku berpindah ke sudut meja, tepat di depan tempat duduk yang kamu pilih. Sudut, menatap rimbunnya semak beri di dekat jendela.
Anggukanmu menjadi penyemangat saat duniaku kembali dimulai.
"Manis ...." Aku suka melihat matamu yang terpejam setelah menyuap beri merah dari tusukan garpu. Mengerut di akhir, dan aku tak bisa menahan gelak ketika kamu bilang, "Asam!"
Mungkin, jika lain kali kamu datang, aku akan beri gratis yang hitam. "Kamu harus coba pai-nya."
Sorot netramu mengarah padaku, menyipit sesaat, lalu mengangguk. Gerakan bahumu agak bungkuk.
"Apa aku menakutkan?"
Barisan gigimu terlihat, memaksa senyum? Benar. Kamu mungkin takut melihatku.
"Tidak." Gelenganmu mampu melunturkan senyum. "Hanya aneh."
"Kenapa?"
"Kamu terlalu atletis untuk menjadi koki."
"Yumna," katamu saat datang lagi. "Aku tidak akan membeli pai mahalmu hari ini. Mencobanya saja ternyata menguras isi dompet."
"Jadi?" Kunaikkan alis kanan sambil berkacak pinggang di pelataran depan setelah memergokimu terus mondar-mandir. "Apa kamu datang hanya untuk mengkritik harga pai-ku?"
Kamu menunduk, menggeleng cepat. Sembunyikan sebagian wajah dalam lilitan syal tebal di leher. "Aku ingin membuat pai."
"Buat?"
Anggukanmu spontan membuatku tertawa lagi hari ini. "Baik. Masuklah. Kamu harus bekerja untuk mendapat kursus masak gratis."
"Namamu? Apa orang-orang tidak menyebut namamu?" Kamu seperti tidak pernah kehabisan pertanyaan. Namun, nama? Harusnya kamu tanyakan di awal saat pertama kita jumpa, seperti orang normal yang berkenalan.
Alih-alih memetik buah beri seperti yang kuminta, kamu justru menyengir, memakan satu per satu isi keranjang.
Lengkung yang membingkai binar matamu justru membuatku kesulitan melampiaskan amarah. Terasa menggelitik perut hingga turut tersenyum.
[11:04 AM, 5/17/2020] Riz: "Bregens. Kamu bisa memanggilku dengan nama itu." Kutangkap jemarimu yang hampir meraih beri dalam keranjang di tanganku.
"Kalau buah ini habis, bagaimana kamu belajar membuat pai beri?"
Kamu mengangguk cepat, melebarkan senyum seolah tak bersalah. "Kapan kamu akan mengajariku?"
"Ketika kamu siap. Tanganmu saja masih sulit memegang sapu."
Aku bergegas membawa keranjang masuk dapur melalui jalan sempit di belakang bangunan sebelum kamu menghabisi bahan utama. Tentunya juga membebaskan tawa yang terus kutahan. Mata lebarmu semakin menegaskan pesona yang sulit ditepis.
Bisa kudengar hentakan kakimu sambil memaki. "Hei! Aku membersihkan kafe setiap hari, Bregens."
Aku harus sering menggeleng ketika kamu justru memanggil namaku tanpa embel-embel Pak atau Tuan. Kukira, usia kita cukup jauh. Apalagi saat menemukan tanda pengenalmu terjatuh di depan pintu kafe yang baru kututup.
"Yumna!"