Adzkia melangkah dengan gamang sambil menarik koper dan menggendong seorang anak kecil, dengan pikiran tak terarah. Kedua mata Adzkia memerah dan pipinya basah karena air mata yang terus saja mengalir dari kelopak mata.
Wanita itu mencoba menahan agar bulir lembut sebening kristal tersebut tidak sampai tumpah. Namun, rasa sakit yang ia rasa mengalahkan dan membuat air mata itu jatuh.
Annaya, gadis berusia empat tahun enam bulan yang berada dalam gendongannya menatap nanar ke arah Adzkia. Ibu jari kecil Naya, biasa gadis itu di panggil, menyeka jejak air mata yang tertinggal di kedua pipi Adzkia.
"Bunda, kenapa menangis? Apa Bunda merasa lelah menggendongku?"
Suara lembut dari bibir mungil Annaya membuyarkan lamunan Adzkia. Gadis kecil itu memandang wajah Adzkia yang tampak sayu.
"Tidak, Sayang. Bunda kuat, kok."
Senyum tipis terukir di sudut bibir Adzkia, sembari sebelah tangannya mengusap lembut wajah mungil sang putri.
"Kita mau ke mana, Bun? Kenapa ayah tidak ikut bersama?"
Annaya kembali bertanya dengan wajah polosnya. Adzkia kembali mengulas senyum, meski terpaksa dan harus menahan sakit. Semua demi membuat buah hatinya tidak curiga serta sedih.
"Ayah masih ada pekerjaan, Sayang. Kita berdua saja. Annaya lelah? Kita istirahat dulu, ya, Sayang."
Adzkia menepi dan menyandarkan koper di trotoar. Kemudian, ia menurunkan Annaya dan mengajak putri kecilnya itu untuk duduk.
Helaan napas kasar terdengar begitu terasa sesak. Ada beban cukup berat menghimpit dalam dada Adzkia. Namun, ia tetap berusaha terlihat baik-baik saja di hadapan Annaya.
Kembali, wanita itu melamun. Teringat pertengkarannya dengan Alvian, sang suami beberapa waktu lalu, sebelum dirinya pergi bersama Annaya.
Ya, Alvian dan Adzkia sempat bertengkar cukup hebat. Pria itu telah menalak Adzkia dan mengusir wanita tersebut dari rumah.
Entah apa yang telah merasuki hati dan pikiran Alvian hingga berbuat setega itu pada anak dan istrinya, tanpa belas kasihan membiarkan di kegelapan malam yang dingin menembus jalan, entah berapa lama harus bertahan.
Adzkia kembali menangis meratapi nasib hidupnya. Beruntung, Annaya tertidur di pangkuannya karena lelah. Sehingga, gadis kecil itu tidak perlu melihat kesedihan Sang Ibu.
Wanita itu kembali melangkahkan kaki dengan beban di pundak yang cukup berat. Sebelah tangannya pun masih menggenggam gagang koper. Peluh perlahan menetes membasahi keningnya. Namun, Adzkia tetap meneruskan perjalanannya.
Hari semakin larut, langit redup. Cahaya rembulan tertutup awan yang sedikit menghitam. Tidak ada satu bintang pun menemani. Semesta seolah ikut merasakan kesedihan yang Adzkia rasakan.
Langkahnya terhenti ketika ia melihat ada tulisan rumah di sewakan. Namun, ia tidak ingin mencari atau menghubungi pemiliknya karena sudah larut malam. Rasanya, tidak pantas jika harus mengganggu malam-malam. Adzkia memutuskan untuk beristirahat di pelataran rumah saja, menunggu pagi datang.