Azhar berdiri di samping Adzkia. Sebelah tangannya ia letakkan pada bahu wanita itu sambil mengusap-usap pelan, menenangkan Adzkia yang masih terlihat cemas.
Adzkia menoleh ke arah Azhar sekilas. Menelan dengan susah payah ludah. Bibirnya terkunci. Namun, kedua mata wanita itu mengisyaratkan kesedihan yang mendalam.
Azhar paham, rasanya ingin sekali memeluk tubuh wanita di sampingnya tersebut. Namun, ada batasan yang harus tetap di jaga. Azhar juga merasakan kesedian itu. Meskipun ia baru pertama kali bertemu Annaya.
"Bersabarlah. Annaya anak yang kuat. Dia pasti bisa bertahan," ucap Azhar lembut.
"Kamu benar. Terima kasih, Kak selalu menyemangati aku," balas Adzkia sambil tertunduk.
"Istirahatlah sebentar. Makan dulu, ya. Sejak pagi, kamu belum makan apa pun," bujuk Azhar.
"Aku tidak lapar," tolak Adzkia sambil terus menatap ke arah Annaya.
Azhar menghela napas. Pria itu sedikit berjongkok, mensejajarkan tubuhnya dengan Adzkia. Kemudian, menatap dalam wanita di sampingnya tersebut.
"Adzkia, jangan seperti ini. Jika kamu tidak makan dan sakit, bagaimana kamu akan menjaga Annaya? Saat Annaya bangun nanti, apa kamu tega melihat Naya bersedih karena melihat bundanya kurus dan sakit?"
Azhar mencoba menasihati Adzkia. Pria itu begitu peduli sekali dengan Adzkia dan Annaya. Pantang menyerah untuk bisa membujuk wanita itu.
"Tapi ...."
"Aku mohon, makanlah demi Annaya. Aku sudah belikan kamu makanan. Sekarang, duduk di sofa dan makan, ya. Nanti, kamu bisa duduk di sini lagi menjaga Annaya."
Azhar menyela kalimat Adzkia dan kembali membujuk wanita itu. Adzkia pun menyerah dan mengangguk. Menuruti perkataan Azhar.
Pria itu menuntun Adzkia melangkah ke sofa dan membantu mendudukkannya. Kemudian, membuka paper bag berwarna hitam dan mengeluarkan isinya. Menata dengan rapi di meja makanan dan minuman yang ia beli.
Azhar mengambil satu kotak makan berisi nasi dan beberapa lauk di meja. Lalu, menyerahkannya pada Adzkia.
"Makanlah, supaya energimu terisi," ucap Azhar sambil memberikan kotak berisi makanan tersebut.
Adzkia menerimanya dan menyendok nasi beserta lauk. Dengan malas ia memasukan makanan itu ke mulutnya. Berusaha mengunyah meski sulit tertelan. Adzkia masih sedih memikirkan Annaya yang belum juga sadarkan diri.
Azhar memperhatikan. Namun, tidak banyak bicara. Pria itu mengambil sebotol air mineral dan membuka tutupnya. Kemudian, menaruhnya di meja.
"Makanlah dengan perlahan. Jangan terburu-buru. Aku akan di sini menemanimu dan Annaya," ucap pria itu kembali.
"Kak, sebaiknya Kakak pulang dan beristirahat. Kakak pasti lelah seharian mengurus pekerjaaan, aku, dan Annaya. Biar aku di sini sendiri menjaganya."
Adzkia mengentikan aktivitas makannya. Merasa kasihan dengan Azhar yang terlihat lelah dan meminta pria itu untuk beristirahat.