Secangkir Kopi Pembawa Petaka

Trinaya
Chapter #20

Bab 20 Khawatir yang Tidak Perlu

"Bukan galau, Kak. Aku hanya sedikit khawatir. Mas Alvian tidak pernah sakit sampai separah itu. Apalagi sampai masuk rumah sakit," jelas Adzkia kembali.

Azhar menghela napas kasar. Memajukan sedikit tubuhnya, mendekat ke arah Adzkia.

"Apa kamu masih menaruh hati padanya? Kamu masih mencintainya?" cecar Azhar dengan tatapan tajam.

"Kak, aku khawatir sama Mas Alvian bukan berarti masih menaruh hati dan mencintai dia. Apa salah kalau aku mengkhawatirkannya?" jelas Adzkia membalas tatapan tajam Azhar.

"Salah. Kamu tidak perlu mengkhawatirkan dia. Ketika kamu sakit, apa dia khawatir padamu? Apa selama ini dia peduli padamu? Pada Annaya? Tidak, bukan? Kalau dia melakukan perannya dengan baik sebagai seorang ayah, meskipun kamu mantan istrinya, tapi Annaya anak kandungnya. Dia juga butuh kekhawatiran dan kepedulian ayahnya," jelas Azhar dengan sedikit emosi.

Azhar kecewa dan sakit hati dengan apa yang sudah Alvian lakukan pada Adzkia juga Annaya. Ada rasa penyesalan karena telah melepaskan Adzkia dan merelakan untuk bersama Alvian. Jika bukan karena larangan Adzkia, sudah pasti Alvian babak belur dibuat oleh Azhar.

"Kamu benar, Kak. Tapi aku ...."

"Berhenti mengkhawatirkan laki-laki tidak punya hati seperti Alvian. Kamu berhak bahagia dan dicintai, bukan disakiti dan dikhianati."

Azhar menyela kalimat Adzkia, ia ingin wanita itu bisa melupakan Alvian yang telah menyakiti dan menorehkan luka teramat dalam di hatinya.

Adzkia terdiam dan tertunduk. Hatinya kembali sakit ketika mendengar ucapan Azhar. Jika dipikir-pikir, perkataan Azhar memang ada benarnya juga, Alvian tidak pantas menerima simpati dari Adzkia.

Apa yang telah Alvian lakukan pada Adzkia, memang harus di bayar mahal oleh pria itu. Perlakuan Alvian yang terkadang tidak manusiawi, tidak memperlakukan Adzkia layaknya manusia, memang patut mendapatkan ganjaran yang setimpal.

"Maaf, telah buat kamu sedih. Aku tidak bermaksud untuk itu."

Azhar kembali menatap Adzkia yang tertunduk, ia merasa bersalah dan tidak enak hati dengan Adzkia. Sungguh, Azhar tidak bisa melihat orang yang disayangi bersedih, terluka, dan sakit.

"Adzkia," panggil Azhar lembut.

Adzkia bergeming, ia masih tertunduk. Hanya Isak tangis yang sesekali terdengar, meski pelan. Namun, tetap terdengar jelas di telinga Azhar yang tajam.

"A--aku benar-benar minta maaf karena kamu ...."

"Kamu tidak salah, Kak. Maaf, aku terlalu lemah dan cengeng. Mudah sekali menangis dan sakit. Kamu benar, tidak seharusnya aku terus memikirkan Mas Alvian, apalagi ketika bersamamu."

Adzkia mendongak. Menatap ke arah Azhar sembari mengusap kasar pipinya yang sedikit basah karena bulir selembut kristal menetes perlahan dari kedua kelopak matanya.

Adzkia tersadar dan membenarkan perkataan Azhar. Sesungguhnya, wanita itu tidak ingin terus terbelenggu oleh bayang-bayang Alvian yang kerap kali mengganggu. Namun, nalurinya terkadang berkata lain dan memaksa diri untuk mengingatnya. Hal itu yang membuat Adzkia terlihat baik-baik saja dari luar. Akan tetapi, hatinya tidak.

"Sudah lah, tidak usah dibahas lagi, ya. Sekarang, bagaimana kalau kita ke sekolah dan jemput Annaya. Lalu, kita jalan-jalan. Aku sudah rindu ingin mengajaknya pergi," saran Azhar mengubah topik pembicaraan agar Adzkia tidak bersedih lagi. Adzkia mengangguk sambil senyum paksa.

~~~

Lihat selengkapnya