Adzkia terus berlari, sebisa mungkin menjauh dari Azhar. Meski lelaki itu terus mengejarnya. Azhar mempercepat langkah agar bisa menangkap Adzkia.
"Adzkia, berhenti!" seru Azhar meraih sebelah tangan Adzkia dan menghentikan langkahnya.
"Lepaskan aku!" seru Adzkia berusaha melepaskan tangannya dari genggaman Azhar.
"Aku tidak akan melepaskan kamu sebelum tenang dan dengarkan aku," ucap Azhar yang masih menggenggam sebelah tangan Adzkia.
Adzkia terus meronta. Wajahnya memerah menahan amarah dan tangis. Sakit, itulah yang saat ini dirasakan oleh Adzkia. Merasa dirinya dibohongi dan dikecewakan.
"Tolong tenang dulu, Sayang," pinta Azhar dengan lembut.
Adzkia terdiam dan berhenti meronta. Wanita itu tertunduk, tidak mau menatap ke arah Azhar. Perlahan, bulir selembut kristal menetes membasahi kedua pipi putihnya.
Azhar meraih sebelah tangan Adzkia dan kini keduanya ia genggam. Kemudian, mendongakkan wajah cantik istrinya. Melepaskan genggaman dan menangkupkan pipi Adzkia. Menghapus jejak air mata yang tertinggal di sana.
"Adzkia, tolong dengarkan aku. Aku mohon," pinta Azhar dengan sedikit mengiba.
Adzkia diam seribu bahasa. Mulutnya seolah terkunci dan enggan berbicara. Semua yang ia lihat tadi, membuat hati Adzkia sakit dan kecewa. Meskipun niat dan tujuan Azhar baik. Namun, tetap saja ia merasa dibohongi oleh suaminya itu.
"Adzkia," panggil Azhar lembut.
Adzkia menatap tajam ke arah Azhar. Napasnya bergemuruh menahan amarah. Adzkia benar-benar kecewa sekali dengan Azhar. Orang yang ia anggap bisa dipercaya dan selalu jujur serta bersikap baik. Namun ternyata, telah membohongi Adzkia habis-habisan.
"Adzkia," ulang Azhar. Namun, Adzkia masih bergeming.
Azhar meraih wajah Adzkia dan menangkupkannya. Air mata Adzkia menetes perlahan dari kedua pelupuk matanya. Meski ia sudah mati-matian menahannya agar tidak tumpah. Namun, tetap saja mengalir tanpa permisi.
"Adzkia, maafkan aku. Bukan maksud hati mau membohongimu. Hanya saja, aku merasa belum siap menceritakan semua padamu. Aku takut hal ini akan terjadi. Kamu jadi marah dan sakit hati. Aku juga belum lama tahu. Aku janji akan jelaskan semua padamu. Namun, kamu janji dulu tenang dan mau mendengarkan aku," jelas Azhar sembari mengusap lembut kedua pipi Adzkia dengan ibu jarinya.
Adzkia menatap ke arah Azhar dengan tatapan tajam. Biasanya, ia selalu lembut. Namun, kali ini Adzkia benar-benar bukan sedang menghadapi suaminya, melainkan musuh.
"Adzkia," panggil Azhar kembali.
Rasanya sudah berkali-kali pemuda itu memanggil nama istrinya. Namun, tidak ada jawaban sama sekali. Hanya tatapan tajam tanda kemarahannya saja yang mewakilkan perasaan Adzkia.