Syakilah syok mendengar pengakuan Soni yang begitu menyimpan dendam dengan Alvian. Selama ini, Syakilah mengenal pria itu sangat baik, tidak ada gelagat sedikitpun mengenai kemarahan di dalam diri Soni.
Syakilah tidak menyangka akan terlibat sejauh ini. Awalnya, ia hanya ingin memiliki Alvian karena rasa cintanya. Namun ternyata, ia harus menghancurkan lelaki yang ia cintai dengan cara licik.
Ingin rasanya Syakilah menjauh dari Soni dan mengakhiri semua kejahatannya pada Alvian. Namun, itu semua sulit. Sebab, Soni tidak akan melepaskan Syakilah begitu saja.
"Bagaimana, Syakilah? Apa kamu masih tetap mencintai pembunuh itu?" tanya Soni sambil menatap Syakilah tajam.
Syakilah terdiam. Wanita itu dilema. Satu sisi, ia begitu mencintai Alvian. Namun, di sisi lain, ia harus menuruti perintah Soni agar dirinya tetap aman, tanpa harus berurusan dengan pihak yang berwajib.
"Syakilah," panggil Soni yang mengejutkan Syakilah.
"Emm, aku tidak bisa melepaskan Mas Alvian. Meski kamu meminta aku untuk menghancurkannya. Soni, kamu bisa mengurus dendam-mu sendiri tanpa harus melibatkan aku," putus Syakilah membuat Soni geram.
"Jadi, kamu tetap memihak pria jahat itu, meski kamu tahu dia pembunuh?" kesal Soni.
"Kita belum tahu pasti kebenarannya seperti apa? Belum tentu itu murni kesalahan Mas Alvian. Kamu tidak punya bukti akurat untuk menuduhnya," bela Syakilah yang tidak ingin Alvian disalahkan.
"Jadi, kamu menyalahkan adikku? Dia meninggal gara-gara pria brengsek itu. Kamu benar-benar keterlaluan, Syakilah!" emosi Soni yang sudah di ubun-ubun sambil mengepalkan kedua tangannya.
"Aku tidak menyalahkan adikmu. Namun, setidaknya, kita harus cari bukti yang kuat untuk bisa membalasnya. Jika kamu asal menuduhnya dan terbukti dia tidak bersalah, malah kita yang terkena masalah. Kita bisa masuk penjara bersama," jelas Syakilah, berusaha menyadarkan Soni.
"Baik, aku akan cari bukti itu. Aku pastikan, Alvian bersalah dan akan aku balaskan dendam adikku."
Soni tetap kukuh pada pendiriannya yang memfitnah Alvian. Dendam lelaki itu sudah terlalu dalam. Sorot matanya pun begitu tajam. Dalam diri Soni hanyalah mendapatkan keadilan untuk almarhumah adiknya.
~~~
Adzkia dan Annaya berjalan-jalan ke taman kota menikmati sore. Kebetulan, Adzkia pulang cepat. Jadi, ia bisa meluangkan waktu untuk pergi berdua putrinya.
Annaya melangkahkan kaki kecilnya dengan riang sambil menggandeng tangan bundanya. Rambut gadis kecil itu dikepang dua, dengan poni tipis. Pita kecil menjadi penghiasannya. Begitu cantik dan memesona.
Gadis kecil itu mewarisi kecantikan dari Adzkia. Jika mereka berjalan berdua, banyak mata memandang dan kagum akan kecantikan dua bidadari tersebut.
"Annaya suka?" tanya Adzkia di tengah perjalanannya.
"Suka sekali, Bunda. Sudah lama sekali kita tidak jalan-jalan sore," ucap gadis delapan tahun itu dengan suara manja ciri khasnya.
"Iya, Sayang. Sudah lama sekali. Maafkan Bunda, ya. Baru sempat mengajakmu jalan sore seperti ini," ucap Adzkia sedikit sedih.