[Maaf, Kak. Aku lagi sama Mas Alvian.]
[Apa? Kamu sama Alvian? Sedang apa?]
[Ceritanya panjang. Aku ada di Kafe Rindu, tempat biasa.]
[Ya sudah, aku jemput kamu ke sana, ya?]
[Iya, Kak.]
[Assalamualaikum.]
[Waalaikumsalam.]
Adzkia menyudahi panggilan teleponnya dengan Azhar. Alvian sejak tadi terdiam, mendengarkan obrolan Adzkia dengan suaminya.
"Itu Azhar? Apa dia marah kamu ketemu aku?" tanya Alvian dengan wajah serius.
"Iya, itu Kak Azhar. Dia tidak marah, Kok. Katanya mau ke sini jemput aku," jelas Adzkia santai.
"Syukurlah. Kalau begitu, aku duluan, ya," pamit Alvian sambil berdiri.
"Tidak menunggu Kak Azhar dulu?"
"Tidak usah. Aku belum siap bertemu dengan Azhar."
"Ya sudah. Kamu hati-hati, Mas. Kamu harus sabar. Kita sama-sama cari Syakilah dan minta dia untuk mempertanggung jawabkan semuanya," jelas Adzkia dengan wajah serius.
"Kamu benar, Kia. Doakan aku supaya kuat menghadapi semua," ucap Alvian dengan lesu.
"Iya, Mas. Jangan bertindak gegabah, ya," pesan Adzkia. Alvian mengangguk dan pergi meninggalkan Adzkia sendiri di kafe itu.
Tidak lama kemudian.
"Sayang, kamu kok sendiri? Alvian mana?" tanya Azhar ketika baru saja tiba di kafe.
"Mas Alvian pulang duluan. Katanya, dia belum siap ketemu kamu," jujur Adzkia sambil menyeruput latte kesukaannya.
"Loh, kenapa? Memang tadi dia bicara apa saja sama kamu?" cecar Azhar dengan penasaran sambil menarik kursi di hadapan Adzkia.
Wanita itu menghela napas dan menaruh cangkir di meja. Kemudian, menyangga dagu pada kedua tangannya.