Setelah melakukan perawatan dan pengobatan selama hampir enam bulan, Alvian sudah kembali normal. Pengaruh guna-guna itu sudah hilang. Kini, Alvian sudah bisa menjalani hidup seperti semula lagi.
Namun, ia bersedih karena tidak tahu lagi harus ke mana. Pria itu sudah tidak memiliki apa-apa lagi. Semua hartanya habis dikuras oleh Soni dan Syakilah yang sampai kini ia belum mengetahui kenapa kedua orang tersebut begitu kejam padanya.
Beruntung, masih ada satu rumah peninggalan orang tuanya yang terletak cukup jauh dari tempat tinggal lamanya. Hanya itu satu-satunya yang tidak diambil Syakilah.
Sertifikat rumah dan beberapa aset peninggalan orang tua Alvian disimpan pada seorang notaris kepercayaan keluarganya. Semua bisa Alvian miliki setelah pria itu kembali sadar dan hidup normal. Sebab, ia baru ingat akan harta tersebut.
Meski ia harus memulai dari awal. Namun, tidak mengapa, Alvian tetap bersyukur masih memiliki tempat tinggal dan beberapa ladang serta hewan ternak yang bisa Alvian kelola untuk bisa menghasilkan uang juga memulai hidup barunya.
Perlahan, tapi pasti. Alvian mulai bangkit dari keterpurukannya. Meski berat dan cukup sulit karena pertama kalinya bagi Alvian hidup serta berusaha sendiri dari awal. Akan tetapi, tetap di jalani demi untuk kelangsungan hidupnya.
Azhar dan Adzkia ikut membantu. Mereka memasarkan hasil panen dan ternak milik Alvian melalui kenalan-kenalan Azhar. Mengolah dengan baik usaha Alvian.
"Alhamdulillah. Usaha ini berjalan dengan baik. Terima kasih, kalian sudah membantuku," ucap Alvian kepada Adzkia dan Azhar yang datang ke tempat tinggal Alvian.
"Alhamdulillah. Semua itu, berkat usaha dan kerja keras kamu, Alvian. Kami hanya membantu sekedarnya saja," jelas Azhar sambil tersenyum.
"Kak Azhar benar, Mas. Semua tidak akan terlaksana tanpa usaha dan kerja kerasmu," imbuh Adzkia sambil merangkul Azhar.
"Kalian memang teman-teman terbaikku. Kalian orang baik. Meski aku sudah begitu menyakiti kalian. Namun, masih tetap membantuku," puji Alvian dengan tulus.
"Alvian, kita tetap sahabat. Meski ada luka, kecewa, dan sakit hati di antara kita. Sudah sepantasnya kalau saling membantu, bukan?" ucap Azhar sambil menepuk pelan pundak Alvian.
Alvian terdiam. Rasa bersalah itu datang lagi. Penyesalan kembali muncul ke dalam hati Alvian. Pria itu sangat sedih kala harus mengingat semua kejahatannya pada Azhar, Adzkia, dan Annaya.
"Azhar, Adzkia, maafkan aku. Semua terjadi karena kebodohan, kesalahan, dan kekhilafanku. Terutama kamu, Adzkia. Seandainya saja aku tidak menuruti perkataan Safri untuk minum kopi di kedai itu, aku tidak akan mengenal Syakilah dan terkena pelet itu. Rumah tanggaku denganmu pasti masih baik-baik saja sampai sekarang."
Alvian benar-benar menyesal. Kelalaian dan kecerobohannya telah membuatnya sengsara. Secangkir kopi pembawa petaka dalam hidup dan rumah tangganya. Kehilangan harta, tahta, jabatan, dan keluarga. Meninggalkan penyesalan terbesar yang tidak akan mungkin bisa kembali seperti semula.
"Sudah lah, Mas. Jangan disesali. Semua sudah terjadi. Aku sudah ikhlas menerima semua. Jadikan ini pelajaran, untuk kehidupanmu di masa depan nanti. Sekalipun kita bukan lagi pasangan. Namun, aku tidak akan menghalangimu menemui Annaya," jelas Adzkia berusaha tegar.
Meski sesungguhnya hati Adzkia rapuh. Rasa sakit itu masih ada, tersimpan di dasar lubuk hati terdalamnya. Azhar yang paham, menggenggam sebelah tangan Adzkia dan mengusap-usap punggungnya. Kemudian, merangkul serta membawa Adzkia ke dalamnya.
"Baiklah, aku akan memulai hidup baru dan melupakan semua masa lalu itu. Aku akan jalani hidup lebih baik lagi. Menebus semua dosa-dosaku padamu, Azhar, dan Annaya."
"Aku percaya, kamu bisa melakukannya, Alvian."