Malam itu, Arka pulang dengan langkah lambat, seolah takut keajaiban tadi benar-benar berakhir ketika ia sampai di rumah. Ia menatap tangannya yang tadi menggenggam cup matcha — masih terasa hangat, meski kini hanya udara yang tersisa. Sepanjang perjalanan, pikirannya terus memutar ulang obrolan mereka. Suara tawa Tara. Cara ia meniup permukaan matcha sebelum menyeruput. Dan tatapan matanya ketika mereka keluar bersama dan mendapati kedai itu lenyap begitu saja.
Di sisi lain kota, Tara berdiri lama di trotoar, menatap gang tempat kedai itu sempat berdiri. Tangannya sempat menyentuh dinding bata — berharap menemukan pintu tersembunyi, jendela, apa pun. Tapi hanya ada tembok basah dan suara tetesan air dari talang bocor.
“Tsukiyo Matcha…” gumamnya.
Ia mengetik kata itu di ponsel. Tidak ada hasil yang relevan. Tidak di Google Maps, tidak di media sosial. Bahkan Street View menunjukkan gang itu kosong selama bertahun-tahun.
Keesokan Paginya
Arka kembali ke tempat itu. Ia meninggalkan kantor lebih cepat dari biasanya, menolak lembur hanya demi memastikan dirinya tidak gila. Tapi ketika sampai, gang itu seperti tak pernah mengenal aroma matcha.
Tak ada kedai.
Tak ada papan nama.
Hanya lorong kecil yang dipenuhi graffiti dan tempat sampah logam.
Ia berdiri di sana lama, sampai seorang bapak tua lewat dan bertanya, “Cari siapa, Nak?”
“Semalam… saya ke sini. Ada kedai teh. Tsukiyo Matcha. Bapak tahu?”