Malam ketiga mereka bertemu terasa lebih tenang, seperti hujan yang reda setelah semalaman turun deras. Tidak ada kata yang harus diucapkan terlalu cepat. Tidak ada keraguan seperti dulu. Arka dan Tara kini duduk berdampingan tanpa perlu alasan.
Barista tua dengan rambut perak, yang selama ini hanya diam dan menyajikan matcha tanpa suara, tampak lebih terbuka malam itu. Ia berjalan pelan ke meja mereka, meletakkan dua cup matcha — bukan satu, seperti biasanya.
“Sudah waktunya kalian tahu sedikit,” ucapnya, suara lembut seperti desiran angin.
Arka dan Tara saling pandang.
“Tentang apa?” tanya Tara, perlahan.
Barista tersenyum. “Tentang kenapa tempat ini ada.”
Kisah di Balik Kedai
Barista mulai bercerita.
“Tsukiyo Matcha bukan kedai biasa. Ia tidak tinggal di dunia nyata… tapi muncul ketika dua hati sedang mencari sesuatu yang belum selesai.”
“Tempat ini tidak dibangun dari bata dan kayu,” lanjutnya, “melainkan dari rindu, penyesalan, dan harapan yang terlalu dalam untuk disimpan sendiri.”
Arka diam, jantungnya berdegup pelan.
Tara bertanya, “Maksudnya... tempat ini muncul karena kami?”