Secangkir Teh dan Sepotong Ketupat

Mizan Publishing
Chapter #1

Gusti Allah Itu Bukan Laki-Laki!

Selasa kliwon, 11 Oktober 1983, sore hari menjelang Ashar aku keluar dari rahim ibuku. dari kisah yang kudengar, emakpanggilan kesayanganku untuknyasangat bahagia begitu melihat bayinya laki-laki. emak menunggu saat-saat ini, memiliki anak laki-laki. Bahkan, sebelum aku lahir, emak sudah begitu yakin bahwa bayi yang dikandungnya berjenis kelamin laki-laki. saat emak hamil, tetangga sebelah selalu menggodanya bahwa bayi yang dikandungnya adalah perempuan dan emak pun sangat jengkel mendengarnya.

Sebelum menikah dengan Bapak, emak pernah punya suami sebelumnya dan dikaruniai seorang anak perempuan bernama masniamah. setelah bercerai dengan suami pertamanya, emak menikah dengan Bapak yang berstatus duda anak dua yang keduanya perempuan, Zulaikatul nartik (mbak Tik) dan maslikatin (mbak Tin). setelah emak dan Bapak menikah, mereka lagi-lagi dikaruniai dua anak perempuan bernama Anisfah dan Ana ulfa. di benak emak, mungkin juga Bapak, cukuplah kiranya mempunyai anak perempuan. Walaupun usia mereka yang tak muda lagi, mereka ingin mencoba nasib, barangkali Allah akan mengabulkan harapan mereka. Pada saat itu usia emak sudah empat puluh tahunan, namun tekad untuk memiliki keturunan anak laki-laki tetap menyala. Akhirnya, lahirlah aku.

Kang Tofa, seorang santri yang menimba ilmu di Ponpes mambaul ulum pernah berkata pada orangtuaku bahwa kehadiranku di tengah-tengah mereka bagaikan paku keluargamemiliki arti baik di keluargaku. kang Tofa berkata demikian karena kedua kakak perempuanku selalu mengalami sakit yang parah sehingga kehadiranku seolah membawa angin segar bagi emak dan Bapak.

Emak memberiku nama mohammad Zaimudin, meniru nama seorang Kiai di Ponpes Purwoasri daerah Kediri. dengan harapan, kelak aku akan menjadi seorang Kiai besar. emak adalah seorang pengurus muslimat nahdatul ulama (nu) ranting cabang desa Damarwulan. Bapakku hanyalah petani biasa yang cukup disegani di desa. kakek dari emakku adalah seorang Kiai kampung dan pengurus nu, sedangkan, konon nenek buyutku adalah seorang wanita sakti yang sangat disegani di daerah karangkajen dan sekitarnya. Beliau sering dimintai doa oleh orang-orang sekitar untuk menyembuhkan penyakit dan juga meminta nasihat.

Emak lebih sering cerita tentang nenek buyutku daripada kakekku karena emak diasuh dan dibesarkan oleh beliau. nenek buyut juga mengajar Al-Quran, santri beliau pun tidak bisa dibilang sedikit. Kiai sarur, seorang Kiai di kampungku tahu akan kemasyhuran nenek buyut. Aku sendiri tak bisa membayangkan seperti apa wajah atau perangai nenek buyutku. emak selalu membanggakan beliau dan seringkali mengulang-ulang cerita yang sama tentang nenek buyut. Bahkan, emak masih mengingat kuat beberapa mantra jawa yang diwariskan dari nenek buyut. salah satu mantra yang masih aku ingat dari emak adalah “puso-puso neng njero dari perkoro, neng njobo dadi molo, tak kembung-kembung, kembung kempes.” mantra ini selalu emak bacakan tatkala aku merasa demam atau masuk angin sambil mengelus perutku.

Saat emak membacakan mantra itu, aku sebenarnya tak merasakan adanya daya magis apa pun. menurutku, daya magis itu hanya berasal dari hati emak yang tulus dan penuh kasih seorang ibu. seperti dibaluri selimut sutra yang halus, melalui mantra warisan neneknya, emak mengungkapkan harapan, cinta, dan segala daya keyakinannya bahwa aku akan sembuh dan aku baik-baik saja. saat-saat seperti itu tak pernah aku lupakan karena dari emaklah aku merasakan kasih sayang untuk yang pertama kalinya.

Bapakku lahir pada 1922. Hanya sedikit yang aku tahu tentang Bapak. Beliau memiliki sejarah hidup yang panjang. dari seorang yatim, pencari rumput, penjual garam, orang kepercayaan mandor kopi, penghitung pajakyang saat itu membantu lurah pertama di desaku, hingga santri pengembara yang menimba ilmu di beberapa pondok pesantren. Aku sangat segan dengan Bapak karena beliau orang yang sangat taat pada agama, tak ubahnya emak. Beliau pernah mondok di Ponpes lirboyo pada zaman agresi militer Belanda. setelah itu, beliau pindah ke Ponpes kencong di jember dan menjadi orang kepercayaan Kiai. kakek dari Bapak adalah seorang pendatang dari jawa Timur dan membuka lahan di desa kencong. kalau ditelusuri lebih jauh, buyut dari Bapak berasal dari solo. sejak aku kecil, ada satu nama yang sering Bapak ceritakan dari buyut-buyut beliau yaitu mbah sanojo. dari namanya, sepertinya mbah sanojo merupakan penganut kejawen. karena namanya tidak mengandung napas Islami. mengingat juga asal daerah mbah sanojo yang identik dengan hal tersebut.

***

Ketika dua orang manusia yang berasal dari keluarga santri membangun rumah tangga, maka sudah pasti warna keluarga itu sangat santri. dan itulah yang terjadi dalam keluargaku. kami tinggal di lingkungan santri di desa Damarwulan, kecamatan Kepung, kabupaten Kediri. keluargakuyang beranggotakan tiga orang perempuan dan dua orang laki-lakitinggal di sebuah rumah di pinggir jalan raya Pare kandangan, jalan raya yang lumayan padat kendaraan. ke arah timur, jalan ini akan menghubungkan ke Malang dan Jombang. menghubungkan Pare dan Kediri kota di arah barat. Aku selalu merasa beruntung bisa lahir di keluarga ini. Tidak kekurangan walaupun tidak pantas di sebut kaya, dan penuh kebahagiaan. kupikir emak dan Bapak adalah suami istri yang sukses membina rumah tangga walaupun sebelumnya mereka sama-sama pernah gagal.

Saat aku duduk di bangku sekolah dasar kelas 4, Bapak sakit parah. semenjak saat itu, beliau tak bisa lagi ke sawah dan bekerja berat. Akhirnya, emak menggantikan posisi Bapak. emak mengurus segalanya, mulai membajak sawah, menjual padi, kelapa, dan sayur-mayur ke tengkulak, hingga beternak merpati. Beliau adalah wanita yang cerdas, semuanya bisa menjadi uang di tangannya. sementara itu, walaupun Bapak sudah tidak bisa lagi ke sawah, jiwa Bapak sebagai petani tak luntur begitu saja. Halaman rumah menjadi tempat berekspresi Bapak untuk bertani. Beliau menanam cabe, labu, terong, blonceng (labu putih), dan pisang. Hasilnya pun cukup untuk mengirit uang belanja.

Bahkan, emak sering menjual sayur-mayur dan hasil uangnya digunakan untuk uang sakuku ke sekolah.

Emak adalah guru pertamaku mengenal ajaran Islam. Beliau mengajariku shalat, doa-doa, dan membaca Al-Quran. setiap malam menjelang tidur, beliau selalu membacakan surat-surat pendek dan aku disuruh mengulanginya hingga hafal di luar kepala. emak juga sering bercerita tentang Kiai-Kiai besar yang hidupnya sederhana, bersahaja, dan memiliki kewaskitaan dalam laku spiritual. yang pasti, emak benar-benar ingin menancapkan nilai-nilai keislaman padaku sejak kecil.

Suatu saat temanku bernama nina mengajakku untuk belajar agama atau pada waktu itu kami menyebutnya ‘sekolah Arab’ pada pamannya yang bernama kang Basuki. ‘sekolah Arab’ adalah istilah kami untuk menyebut sekolah yang khusus mempelajari agama Islam berdasarkan pada kitab-kitab klasik yang menjadi pedoman pesantren. sedangkan, kang Basuki adalah seorang tenaga pengajar di Ponpes jatirejo, dusun di tempat aku tinggal. Aku menceritakan ajakan nina ke emak, spontan emak pun menyambut dengan gembira. emak mengabarkan hal ini kepada tetangga sebelah rumah, ibu Fauzan dan ibu khakim. Fauzan dan khakim adalah sahabat karibku waktu kecil. Bersama merekalah aku menimba ilmu pesantren pada kang Basuki.

Kami belajar Arab Pegon*, tajwid, fiqih dasar, kitab matlab Dan ta‘lim muta‘alim yang membahas tentang tata cara seorang muslim menuntut ilmu dan juga bahasa Arab. Tiap kali memulai kelas, kami harus terlebih dulu lalaranmelafalkan pelajaran dengan dilagukan. Aku sangat menikmati aktivitas ini apalagi saat lalaran, kami bisa berteriak sekencang mungkin sambil menabuh bangku. kang Basuki orang yang sabar dan telaten saat mengajar kami, tetapi beliau juga bisa keras saat kami bercanda keterlaluan. Pernah suatu saat beliau menjadi imam di mushala, aku, Fauzan, dan khakim berada di barisan yang sama. kami bercanda selama shalat, bahkan kami tertawa sambil ditahan. saat shalat tangan kami saling sikut sana-sini, saling menggelitik satu sama lain, dan kami pun cekikian gembira di tengah kekhusyukan shalat berjamaah.

* Huruf Arab yang Dimodifikasi untuk menuliskaN bahasa Jawa juga bahasa Sunda.Peny.

Selesai shalat, kang Basuki berteriak keras pada kami, “Zaim, Fauzan, dan khakim! kalian bertiga ulangi shalat!” kami pun terdiam dengan muka masam dan malu pada jamaah lain, tetapi kami juga tidak menaati perintah dan hanya diam. Bercanda saat shalat bukanlah hal baru bagi kami. Bahkan, ada seorang tetangga yang tidak mengizinkan kami untuk satu saf saat shalat untuk mencegah kami bercanda. entahlah, saat itu kami sangat menikmati sekali saat bercanda di tengah shalat. di tempat kang Basukilah untuk pertama kalinya aku mengenal tradisi pesantren.

***

Ada sebuah kejadian lucu yang masih kuingat hingga saat ini. Tepatnya saat kami masih duduk di bangku taman kanak-kanak. saat kami bermain bersama teman sebaya, tiba-tiba saja khakim dengan tergopoh-gopoh datang ke arah kami.

“Hei rek ...!” teriak khakim dengan napas tersengal-sengal. “kata kang War, gusti Allah itu bukan laki-laki!” khakim meneruskan dengan nada tegang.

“Apa ...?” tanyaku heran. “kalau bukan laki-laki, gusti Allah itu perempuan?”

“Perempuan juga bukan,” sanggah khakim.

“Kalau bukan laki-laki dan perempuan, terus gusti Allah itu kelaminnya apa?”

“Aku tidak tahu, yang pasti kang War bilang kalau gusti Allah itu bukan laki-laki ataupun perempuan.”

Selanjutnya, aku tak bisa lagi mengingat apa yang kami bicarakan. Tetapi, percakapan anak kecil tentang Tuhan ini cukup berbekas di sanubariku. karena saat itulah aku baru tahu bahwa Tuhan itu tak berkelamin laki-laki ataupun perempuan. dari percakapan kecil inilah kemudian aku sering merenung dan berpikir tentang Tuhan dan eksistensinya.

Aku juga sempat masuk ke dalam perenungan yang dalam tentang Tuhan saat masih kecil. Aku berpikiran kalau Tuhan menciptakan manusia, lantas harusnya ada juga yang menciptakan Tuhan. Tuhan tidak mungkin hadir begitu saja. kalau begitu siapa yang menciptakan Tuhan. Berhari-hari aku memikirkan hal ini hingga aku sampai pada kesimpulan bahwa, Tuhan itu menciptakan manusia dan Tuhan manusia itu ada yang menciptakan, yaitu Tuhannya Tuhan. Tuhannya Tuhan memberi tugas pada Tuhannya manusia untuk menciptakan manusia. Tuhannya Tuhan menciptakan banyak Tuhan, dan mereka harus berkompetisi untuk memenangkan sayembara tentang menciptakan manusia yang mematuhi perintah mereka.

Dari perenungan ini, aku sedikit puas, tetapi beberapa hari kemudian pikiranku kembali terganggu. kalau yang menciptakan Tuhan adalah Tuhannya Tuhan, lalu siapakah yang menciptakan Tuhannya Tuhan? dari titik ini, aku mulai mengarang cerita yang tak ada ujung pangkalnya tentang Tuhan. Tuhan diciptakan oleh Tuhannya Tuhan dan Tuhannya Tuhan diciptakan oleh Tuhannya para Tuhan dan begitu seterusnya. Berhari-hari aku tak menemukan jawaban, tetapi aku juga tak berani bertanya kepada emak. mungkin juga aku sempat bertanya kepada emak, tetapi jawabannya tetap tidak memuaskanku.

Lihat selengkapnya