Nek pengen manunggal marang Gusti, awakmu kudu iso weruh sopo sejatining ingsun. Ben weruh sopo sejatining ingsun golek ono galihe kangkung.
jika ingin menyatu dengan Tuhan, kamu harus tahu siapa hakikat sebenarnya diri kamu. supaya bisa tahu hakikat diri sejati carilah “galih” kangkung* .
Ungkapan di atas sering kudengar dari percakapan mas Den dengan teman-temannya sesama pelaku kesufian. Pernah suatu malam, aku, mas den, dan Pak markum (bapak dari khakim) berjongkok di depan rumah Pak markum di pinggir jalan. sambil menikmati rokok, obrolan pun mengarah pada laku kesufian. Pak markum memberikan kritikan terhadap salah satu Kiai di kampung yang hanya bergulat pada syariat, tidak pernah masuk ke dalam hakikat dan kemakrifatan. mereka masih terlalu sibuk dengan halal-haram, surga dan neraka.
* Memuat makna bahwa semua hal di dunia ini berawal dari kosong dan akan menjadi kosong pula, begitu juga manusia.Peny.
Mas den pun menanggapi dengan menyepakati kata-kata Pak markum.
Laku sufi tidak bisa didapat dari kitab-kitab. kitab-kitab tasawuf hanyalah pengalaman dari para penulisnya. seperti halnya ketika kita makan buah durian untuk pertama kalinya. kita bisa saja langsung jatuh cinta pada buah berbau menyengat ini. kemudian, kita menceritakan pengalaman langka terse-but kepada teman kita. Tentu saja kita tidak bisa menjelaskan pengalaman tersebut dengan gamblang sehingga kawan kita bisa merasakan rasa durian. mungkin, kita akan menggunakan perumpamaan atau kiasan yang semirip mungkin sehingga pengalaman yang kita alami bisa dirasakan oleh teman kita yang belum pernah mencobanya. namun, alangkah bodohnya jika teman kita hanya mencari tahu rasa durian dari cerita kita tanpa merasa harus memakan durian. Tidak semua orang menyukai durian, dan bisa juga teman kita suka mendengarkan cerita kita tentang durian, tapi malah memuntahkannya saat mencobanya langsung. Begitulah perumpamaan antara seseorang yang hanya sebatas mempelajari ilmu agama dari kitab dengan seseorang yang mempelajarinya sambil mengamalkan. Tentu akan sangat berbeda.
Salah satu teman mas den, Cak Topa, adalah seorang pandai besi tradisional. Aku sering berkunjung dan berbincangbincang tentang dunia spiritual dengannya. dia pun tak jauh beda dengan mas den dan Pak markum yang selalu mengutamakan laku, daripada terus-menerus membaca kitab. kitab hanyalah petunjuk, bukan tujuan. Tujuan tetap sama, yaitu manunggaling kawulo Gusti*. suatu hari, Cak Topa pernah memberi satu pernyataan yang mengagetkanku saat itu.
“Nek awakmu pengen ngerti sejatine Islam, awakmu kudu mendalami Buddho.”
Arti dari pernyataan itu adalah, jika kamu ingin mengerti makna sejati Islam, kamu harus mendalami agama Buddha. Begitulah kira-kira interaksiku dengan Cak Topa. Itulah perbincanganku bersama mereka yang paling berkesan dan memengaruhi perjalanan spiritualku selanjutnya.
Baik mas den, Pak markum, maupun Cak Topa, adalah manusia-manusia sederhana yang konsisten menggeluti laku spiritual. mereka tak pernah memiliki ambisi untuk terkenal. Tujuan meraka hanya satu, manunggaling kawulo Gusti. dari mereka, aku semakin penasaran bagaimanakah rasa bisa manunggal dengan gusti. Tiba-tiba aku teringat dengan cerita yang dulu pernah membuatku bertanya-tanya. mungkin juga sahabat nabi saat shalat dan ditusuk pedang tidak merasakan sakit karena saat itu mereka sedang manunggal dengan gusti. lalu, aku pun semakin penasaran dan bertanya-tanya, bagaimana caranya agar aku bisa manunggal dengan Gusti?
***
Tak terasa, tiga tahun masa persekolahanku di SMA kandangan tak lama lagi usai. Walaupun nilaiku tidak terlalu bagus, aku memiliki kepercayaan diri untuk melanjutkan kuliah. mas den dan mbak Anis pun mendukungku dengan penuh. memang sangat bingung memilih jurusan kuliah apa yang