“To one who has faith, no explanation is necessary.
To one without faith, no explanation is possible.”
Thomas Aquinas
Ibarat seseorang yang dari awal membangun fondasi yang kuat untuk kemudian membangun sebuah bangunan, namun ketika bangunan tersebut belum ada satu meter tingginya, ada orang lain berkata, “sebaiknya kau jangan membangun di sini, tetapi bangunlah di tempat lain.” kurang lebih seperti itulah perasaan yang kurasakan; kecewa dan lelah. keberanianku untuk meragukan segalanya tentang Islam mengantarkanku pada kekecewaan besar pada Islam yang ternyata tak dapat memberikan kedamaian batin untukku. Berhari-hari otakku disibukkan dengan keraguan tersebut yang juga terus-menerus dibumbui dengan kekecewaan pribadi (karena tidak jadi masuk PTn). Bahkan selama berminggu-minggu aku terus bergumul dengan keraguan ini.
Hingga pada suatu titik di mana aku menyatakan diri bahwa aku tidak lagi memercayai nilai-nilai agama dan juga tidak memercayai Tuhan. Aku tak pernah menyatakan diri di depan umum kalau aku telah ateis. Aku hanya menyimpan keateisanku di dalam batin ini. Biarlah aku dan diriku saja yang mengetahuinya. meskipun dalam batin aku telah ateis, aku tidak terlalu anti terhadap mereka yang beragama. Aku juga tetap tinggal di sebuah pondok mahasiswa di dekat kampus. Aku tetap shalat, tetapi shalatku bukanlah shalat sungguhan. shalatku hanya kulakukan untuk menghormati kegiatan pondok. juga saat di rumah maupun di rumah kakakku.
Semua ini terus berlangsung sampai aku merasa sudah tidak sanggup lagi kuliah di IAIN. Aku begitu jenuh dengan suasana kampus tersebut. keinginanku menjadi seorang sastrawan dan penulis semakin kuat. keinginan tersebut seolah-olah seperti bayi yang kukandung yang memaksa untuk keluar dari tubuhku. sebagai pelipur lara, aku beberapa kali mengikuti seminar dengan tema sastra di kampus lain. Aku juga seringkali mampir ke Balai Pemuda Surabaya untuk melihat para seniman lukis dan pameran seni. Aku benar-benar tak kuat lagi menahan kesuntukan yang bertambah-tambah karena melihat diriku yang seperti ini dan tak melakukan apa pun untuk mengatasinya selain gelisah dan putus asa. juga pada pertanyaan besarku ten-tang bagaimana cara untuk selaras dengan alam.
Aku merasa sendirian, tak satu pun orang yang bisa memahamiku. Kiai yang kuanggap bisa memahamiku sepenuhnya menyerahkan jalan spiritualku pada diriku sendiri. Aku sendiri yang harus memecahkan ini semua. seringkali sehabis tidur siang, aku terbangun dengan gelagapan dan langsung dihadapkan pada kegelisahan yang amat dalam dan berat. semua terasa gelap di sekelilingku, semua terasa asing di mataku. Tubuhku kurus kerempeng, rambutku tak pernah kucukur hingga tumbuh hampir sepunggung. Tiap pagi aku tidak pernah sarapan, hanya makan gorengan, kopi, dan rokok. dalam kondisi seperti itu, kekecewaan atas kegagalanku untuk masuk PTn menjadi perasaan yang terus-menerus menyiksaku. saat aku mendengar kata sastra, penulis, puisi, novel, ataupun UNESA, hatiku terasa diiris-iris pisaunya penjagal sapi. sering juga aku berjalan sendirian menyusuri jalanan Surabaya tanpa ada tujuan ke mana. jika melihat ada puntung rokok yang masih setengah kuambil dan kuhisap sisanya. Aku benar-benar terluka dengan ribuan borok yang tak tahu ke mana harus mengobatinya.
Di lain pihak, semua kakakku tidak bisa berbuat banyak melihat kondisiku. Aku juga masih sering menginap di rumah mas Hadi dan mbak Tik walaupun aku menyimpan sedikit rasa jengkel terhadap mereka karena memaksaku masuk IAIN dan melepas UNESA. mereka pun masih menyayangiku sebagai adiknya. Aku juga melihat wajah kekhawatiran mereka atas kondisiku walaupun mereka tak pernah mengungkapkan hal itu secara langsung. meskipun aku berada dalam kondisi depresi berat, aku tetap ingin terlihat ceria di hadapan teman dan saudaraku. Aku tetap tampil dengan karakterku yang humoris dan bergaul. namun, saat sendirian dan malam tiba, semua kesuntukan itu hadir seperti sahabat yang yang menekan dadaku, mencekik leherku, dan meremas-remas kepalaku. saat aku tak tahan lagi dengan kondisi ini, aku akan membentur-benturkan kepalaku ke tembok hingga aku merasakan sakit. setelah rasa sakit itu muncul, kesuntukan sedikit reda karena pikiranku sibuk dengan rasa sakit yang kuderita sehingga pikiranku tak bisa menghadirkan kesuntukan lagi.
Ke mana lagi aku harus mengeluh? Saudaraku? Mereka tak ada yang memahamiku. Teman, aku tak punya, bahkan aku telah meninggalkan Tuhan. Ke mana lagi aku harus merintih? lirihku saat itu. ya, sekadar merintih. Aku terlalu sering merintih pada diriku sendiri hingga aku sendiri muak dengan rintihanku. ketika aku masih percaya sepenuhnya pada Tuhan, aku cukup menyebut nama Allah dan hati ini pun terasa sejuk. dengan merintih di hadapan-nya, cukup bisa melepas sejenak penat pikiranku. Pada titik itu, aku ingin sekali menyebut nama-nya, tetapi aku malu dengan diriku sendiri yang telah menyatakan bahwa diriku ateis. Ada sebuah perasaan yang kuat saat itu yang menyatakan bahwa aku merindukan kehadiran-nya. kehadiran-nya yang sesungguhnya, bukan kehadiran yang dikabarkan para penceramah-penceramah. Aku ingin benar-benar merasakan pelukan-nya.
Mulai saat itulah aku tak lagi menghiraukan apakah aku ateis atau tidak. Apakah aku percaya pada Tuhan atau tidak. sekarang, itu bukan lagi masalah buatku.
Tujuanku hanya satu, ingin selaras dengan alam.
***
Hari demi hari, pertanyaan yang menggelayut dalam benakku semakin menjadi-jadi dan tak bisa kutundukkan begitu saja. Bahkan, buku-buku yang tertata rapi di perpustakaan IAIN tak bisa menjawab pertanyaan itu. Bagaimana caranya agar selaras dengan alam?
Agama Islam yang telah membesarkanku tak mampu menjawab pertanyaan itu. Walaupun secara pribadi aku telah menyatakan diri ateis, lubuk hatiku yang paling dalam mengatakan Islam juga bisa menuntunku untuk ke arah sana. Tetapi, saat itu aku benar-benar sudah muak dengan para penceramah atau ustaz yang isi pidatonya hanya menakut-nakuti umatnya. Aku sudah tidak mempan lagi dengan ‘cara beragama’ seperti itu. Aku tak takut lagi jika ada orang tiba-tiba datang dan mengatakan, “kamu pasti akan masuk neraka dan mendapat siksa yang berat jika kamu menyatakan diri sebagai ateis.”