#secangkir_teh_Riana
"Masukkan satu biji chamomile kering, " perintah Mama Nenden kepadaku. Aku sedang menunggui kedai teh tarik di jalan kejaksaan pada satu siang yang terik. Hal yang paling kusukai saat menunggu kedai siang-sianh adalah... banyaknya pegawai kejaksaan yang parlente, berwibawa dan modis masuk ke sini pukul dua belas siang dan duduk mengantri secangkir minuman kesukaan. Kebanyakan dari mereka memesan kopi luwak bertengger di awan dengan camilan kue Sus kering berselimut salju sebagai teman kencan. Begitulah nama-nama minuman dan jajanan di kedai Mama. Aneh? Tidak, ini unik. Lebih unik lagi karena kedai ini bernama kedai teh tapi sangat laris menjual kopi.
Hingga... Satu cangkir teh buatanku mampu membuat beberapa orang kembali lagi keesokan harinya. Sesuatu yang benar-benar tidak kuduga apalagi mereka berkata bahwa teh itu membawa keajaiban.
"Riana. Kamu melamun? Cepetan, lihat, yang membeli bak ular." Tersadar akan lamunanku kulihat para pengantri di bagian orderan begitu banyak. Mataku membulat, bagian tengahnya bak bola pingpong yang pas membentuk lingkaran. Jika mata ini tidak tersambung ke tubuhku, mungkin akan langsung menggelinding karena shock.
"Eh, eh. Jangan lupa. Masukkan chamomilenya." Sekali lagi Mama Nenden mengingatkan. Sesuai perintah, bunga chamomile kering itu kumasukkan ke dalam cangkir kecil dengan bentuk bak ayunan bayi kemudian kuseduh dengan air panas setengah gelas menambahkan dengan gula pasir halus, menambahkan air panas lagi hingga penuh baru mengaduknya. Warna chamomile menguning di atas air sementara daun teh muda kering ikut menyatu bersamanya, hanya setelah beberapa menit saja. Biasanya, daun teh yang baru merubah warna air itulah yang membuat harum minuman, setelahnya giliran efek warna yang membuat nutrisinya bisa terserap oleh tubuh, jika sudah dingin maka hanya akan terasa seperti air minum biasa yang tidak spesial. Karena itulah, membuat teh lebih enak dan pas jika dalam cangkir kecil atau setengah dari cangkir besar.
"Ah, matcha," seru Mama. "Sajikan," lanjutnya sambil menambahkan kue dadar bergulung kerinduan berisi coklat yang masih hangat, baru saja dilipat dan diisi beberapa menit lalu.
"Akan banyak kerinduan setelah ini sama teh kamu, Dear," ucap Mama setengah berbisik.
"Apakah teh ini begitu istimewa?" Aku melihat Dena, pramusaji kami membawanya pergi dan aku berbisik kepada Mama.
"Kau tak pernah tahu bahwa keajaiban selalu muncul di tengah harapan." Mama mengambil kertas yang dikumpulkan di meja order.
"Lihat ... kau menandai keinginan mereka, memberikan sentuhan teh itu sesuai mood mereka dan kau berhasil membuat mereka kembali."
Aku masih belum paham apa yang dibicarakan Mama tapi aku hanya mengangguk saja.
"Kau tahu itu hanya sekedar catatan, Ma. Tak ada yang istimewa dengan itu-"
Seseorang berteriak. Suaranya bagaikan petir menggelegar di malam yang kelam dengan hujan yang turun begitu deras. Namun, tidak menakutkan.
Dena menyambut orang itu. Kemudian mengajaknya masuk ke dapur kami.
"Ibu Riana." Dena terlihat kebingungan hendak menjelaskan apa.
"Dia-"
"Apakah dia yang membuat tehku?" Seorang lelaki besar dengan kepala botak memakai dasi polkadot menyela ucapan Dena.
Dena mengangguk.