Perkenalkan namaku Ikmal, aku adalah anak kedua dari seorang ayah yang berprofesi sebagai penggarap ladang, sementara ibuku hanyalah ibu rumah tangga biasa. Aku mempunyai seorang kakak perempuan bernama Ayu, selisih usia kami terpaut cukup jauh yakni 8 tahun. Kami tinggal di desa dengan hasil bumi yang alhamdulillah cukup untuk kami bertahan hidup. Sehari-hari ayahku bekerja di ladang, ia menanami ladang warisan dari kakek kami dengan sayuran, pisang, beberapa jenis buah dan tanaman lainnya. Selama puluhan tahun ladang itu mampu mencukupi kebutuhan hidup kami, mau makan tinggal petik saja sayuran, butuh uang, tinggal panen saja buah-buahan yang ada, habis itu dijual deh ke pasar. Meski sederhana, hidup di desa itu menyenangkan, semua disediakan oleh alam, tak hanya itu masyarakatnya pun ramah-ramah.
Mengingat kami tinggal di desa, rumah kami pun hanya bangunan sederhana, rumah panggung kayu yang menyimpan kehangatan di dalamnya. Di rumah ini aku dan kakakku merasakan hangatnya cinta dari ayah dan ibu. Setiap malam di ruang Tengah yang hanya beralaskan tikar dari anyaman bambu ini, kami berempat berbagi cerita tentang hari ini, ayah yang menceritakan kondisi ladang, ibu menceritakan keriwehan saat memasak, Kak Ayu yang menceritakan soal teman-temannya, juga aku yang bercerita tentang cita-cita di masa depan. Sederhana, namun momen ini adalah momen yang bisa menyatukan kami setelah seharian penuh asyik dengan kegiatan masing-masing. Mungkin juga momen kumpul keluarga seperti ini yang akan kami rindukan saat kami dewasa nanti. Malam ini ayah menceritakan kondisi ladang yang membuat ayah sedikit jengkel, pasalnya beberapa buah durian yang rencananya akan ayah jual minggu depan dimakan musang, kondisi durian itu pun kini sudah tak lagi layak untuk dipanen.
“Ayah lagi sebel banget, durian-durian yang udah lama ayah tunggu udah keduluan dimakan musang, padahal rencananya kalau ayah bisa jual durian itu ke pasar, ayah bakal beliin Ayu sama Ikmal baju baru,” kata Ayah.
“Ya sudah, tak apa yah, mungkin belum rezekinya Ayu dan Ikmal punya baju baru, itu rezekinya musang dapat durian matang yang selama ini ayah tunggu-tunggu. Ingat kita hidup di dunia ini berdampingan dengan makhluk ciptaan Allah yang lain, anggap saja itu bersedekah dengan sesama makhluk ciptaan Allah,” jawab ibu.
Selain kesederhanaan yang diajarkan oleh orang tuaku, ayah dan ibu juga sering mengajarkan aku untuk berbagi, kata ayah dan ibu berbagi itu tak melulu soal uang, bisa jadi dari apa yang kita punya saat itu, contohnya durian tadi. Dari kisah itu aku juga belajar bahwa boleh saja kita punya keinginan tapi tetap Allah yang menentukan hasilnya. Jujur saja minggu lalu aku sempat merengek ke ayah minta dibelikan baju Spiderman, semua teman-temanku sudah punya baju itu, hanya aku yang belum. Saat itu ayah berjanji akan membelikan aku baju itu setelah panen durian, sayangnya ayah gagal panen, jadi mau tidak mau aku harus lebih bersabar lagi untuk mendapatkan baju itu.
“Tak apa yah, biar Ikmal lebih rajin lagi berdoa sama Allah, biar ayah dikasih diberikan Kesehatan, ayah diberikan rezeki yang melimpah biar bisa beliin Ikmal baju Spiderman,” ujarku.
“Aamiin,” sahut seisi rumah.
Meski sedikit kecewa dengar cerita ayah tadi, ibu pun mencoba mencairkan suasana. Rupanya mala mini ibu masak spesial untuk makan malam kami, menu malam ini ada sayur daun ubi, ikan asin goreng dan tempe goreng bawang putih, yummy, ini makanan kesukaan keluarga kami.
“Ya sudah mari kita makan, ibu sudah masak spesial untuk ayah, Ayu dan Ikmal,” kata Ibu.
“Yey sayur daun ubi,” sahut Ayu.
“Kalau ini kesukaan Ikmal, tempe goreng bawang putih, masakan ibu memang mantap, nggak kalah sama makanan di restoran,” ucapku.