Kehidupan kami mulai berubah, aku ingat betul itu terjadi di saat aku duduk di kelas 5 SD. Saat itu, ekonomi kami sedang diuji, kami yang biasa hidup sederhana mendadak harus merasakan kekurangan. Pada saat itu kami memperoleh kabar bahwa ibu Tengah mengandung adik kami, saat mengetahui kabar itu, aku dan Kak Ayu bahagia sekali, tapi berbeda dengan ayah. Meski ayah juga merasa bahagia, saat mengetahui ibu hamil, ayah pun harus bekerja lebih keras demi bisa memenuhi kebutuhan hidup kami dan calon adik bayi. Tak ayal, ayah semakin giat dalam bekerja, tak hanya mengandalkan ladang, ayah pun melakoni beberapa pekerjaan lain seperti jadi kuli panggul di pasar, mencari ikan untuk tambahan uang, bahkan ayah juga bekerja serabutan di rumah orang.
Maklum saja, saat hamil adikku, usia ibu sudah tak lagi muda, bahkan kehamilannya pun berisiko, maka dari itu ayah berusaha lebih keras lagi untuk memenuhi kebutuhan hidup kami dan calon adik kami. Aku dan Kak Ayu paham betul ayah lelah, tapi tak pernah sekali pun ayah mengeluh dengan kondisi ini. Aku dan Kak Ayu sebenarnya juga merasa kasihan melihat kondisi Ayah, hanya saja usia kami pada saat itu masih terlalu kecil hingga kami tak bisa berbuat banyak. Saat itu, ibu juga tak bisa banyak membantu ayah, mengingat kondisi ibu juga sedang hamil, maka ibu memutuskan untuk memulai usaha kecil-kecilan. Oh ya ibukku ini jago bikin kue lho, dan kue-kue buatan ibu terkenal yummy. Untuk membantu perekonomian keluarga ibu mencoba membuat kue untuk dititipkan ke warung-warung. Aku dan Kak Ayu juga sering bantu ibu mengantarkan kue ke warung-warung, tak hanya itu Kak Ayu juga sering membantu ibu membuat kue sepulang sekolah.
“Yu, coba dihitung kuenya ada berapa, tolong pisahkan lima biji untuk nenek dan Atuk ya. Nanti setelah Ikmal antar kue dari rumah Wak Supri, antarkan kue ini ke rumah Atuk ya,” pinta ibu.
“Iya Bu, ini sudah Ayu pisahkan, kata Atuk, dia suka kue yang agak gosong, ini Ayu pisahkan beberapa kue yang agak gosong untuk Atuk,” jawab Kak Ayu.
Mengantar kue adalah momen yang paling aku suka, aku dan Kak Ayu berjalan kaki dari rumah untuk mengantarkan kue-kue buatan ibu ke warung, dan salah satu warung yang kami titipi kue berada di dekat rumah nenek dan atuk kami. Setelah selesai mengantar kue, biasanya aku dan Kak Ayu mampir ke rumah atuk, kami memang betah kalau main ke rumah atuk, soalnya atuk kerap menceritakan tentang sejarah ataupun cerita-cerita lain kepada kami. Tak hanya itu setiap kali main ke rumah nenek, nenek pasti nawarin kami untuk makan, entah kenapa masakan nenek itu juga terasa nikmat walaupun sederhana.
“Ikmal, Ayu, makan gih, tadi nenek goreng tempe sama bikini sambel terung, kesukaan kalian kan,” kata nenek.
Tak berselang lama, aku dan Kak Ayu pun berebut mengambil centong nasi.
“Jangan berebut,” pinta nenek.
Tempe goreng yang hanya dibumbui bawang putih dan garam, dipadukan dengan sambal terung, terasa begitu nikmat, sampai-sampai aku dan Kak Ayu nambah berkali-kali.
“Nah habiskan lah makanan itu, kalian kan masih masa pertumbuhan biar besar badan kalian nanti,” kata atuk.
“Nikmat kan masakan nenek? Kemarin nenek masakin tempe kalian nggak ke sini, untung tadi pagi nenek beli tempe lagi,” ucap nenek.
“Oh ya, ayah kalian sudah pulang kah? Tanya nenek lagi.
“Belum nek, kayaknya ayah ke ladang deh, soalnya tadi pagi Ikmal liat ayah bawa cangkul,” jawabku.
“Bilang sama ayah kalian itu, jangan terlalu lah capek bekerja, kasihan badannya, ayah kalian terlihat kurus sekarang,” beber nenek.
Kring-kring, bunyi bel sepeda yang di kendarai ayah, rupanya sebelum pulang ke rumah ayah mampir dulu ke rumah nenek, ayah juga membawakan beberapa jenis sayuran untuk nenek masak.
“Lho kalian ada di sini,” kata ayah.
“Iya, antar kue mereka,” jawab nenek.
“Basuh dulu kakimu di belakang lalu ikutlah makan bersama anak-anakmu,” kata nenek pada Ayah.
Setelah itu ayah pun bergabung bersama kami yang sedang makan. Ayah mengambil gunungan nasi yang sangat banyak, tapi ayah hanya mendapatkan satu potong tempe dan sedikit sambal, aku dan Kak Ayu terlalu lahap menyantap masakan nenek sampai tak lagi tersisa untuk ayah. Meski makan dengan lauk seadanya, ayah tetap lahap makannya. Setelah kami selesai makan, aku dan Kak Ayu segera menyusul atuk ke kebun, kata atuk ada beberapa jambu yang matang dan bisa kami ambil, sementara ayah masih makan ditemani nenek.
“Kamu jangan terlalu capek kalau kerja, makan sama istirahat juga harus teratur,” kata nenek pada ayah.
“Iya Bu, akhir-akhir ini lagi pengen cari tambahan uang buat persiapan istri lahiran, belum lagi anak-anak juga harus bayaran sekolah,” jawab ayah.
“Boleh saja bekerja, tapi harus tau kondisi badan kita juga, capek istirahat, jangan telat makan. Badanmu lebih kurus sekarang,” kata nenek.
Ayah pun hanya terdiam mendengar kalimat yang diucapkan oleh nenek itu.
“Ayah lihat, ada jambu, kami baru saja mengambilnya,” ucapku memecah heningnya suasana.
“Wah besar sekali jambunya, untuk belum dimakan musang,” kata ayah.
Tak berselang lama, kami pun pulang bersama ayah, naik sepeda tua, ayah membonceng aku dan Kak Ayu. Bakan napas ayah terdengar begitu ngos-ngosan saat membonceng kami menggunakan sepeda. Maklum saja sudah dari pagi buta ayah turun untuk bekerja.
“Ayo ayah kayuh terus ayah,” ucapku menyemangati ayah.
Tapi sayangnya baik aku maupun Kak Ayu tidak ada yang sadar, saat itu ayah bukan saja kelelahan, namu kondisi kesehatannya juga menurun. Sesampainnya di rumah, aku dan Kak Ayu bergegas untuk masuk, sementara ayah harus memarkir sepedanya dulu.
Brak.., suara sepeda ayah jatuh.
“Ayah,” kata Kak Ayu.
Saat mencoba melihat ke depan, Kak Ayu mendapati ayah tergeletak lemas di tanah. Kak Ayu pun berteriak memanggil ibu.
“Ibu, tolong ayah jatuh,” ucapnya sambil berteriak.
Mendengar teriakan Kak Ayu itu, ibu yang awalnya ada di dapur pun bergegas untuk keluar, tanpa mempedulikan kondisinya yang Tengah hamil, ibu pun berlari menghampiri ayah.
“Ya Allah ayah kenapa?, bangun yah, ayah,” ucap ibu mendekati ayah.