Momen itu benar-benar terkam jelas di benakku, di mana ibu telah melahirkan adik kami, bayi Perempuan dengan berat 3,1 kg di lahrikan ibu tanpa didampingi ayah. Sebab pada saat ibu melahirkan, kondisi ayah semakin memburuk hingga harus di rawat di rumah sakit. Aku dan Kak Ayu pun bagi tugas, Kak Ayu menjaga ayah di rumah sakit, sementara aku menjaga ibu dan adik bayi di rumah. Sambil menjaga ayah, Kak Ayu tak pernah melupakan kewajibannya untuk belajar.
“Ayu, maafin ayah ya, karena ayah Ayu harus belajar di rumah sakit,” kata ayah.
“Tak apa yah, di mana saja Ayu bisa belajar. Lagian sekarang Ayu udah kelas 3 SMA, mau ujian juga. Oh ya yah, Ayu kemarin daftar beasiswa kuliah, doain Ayu ya yah biar Ayu bisa kuliah,” pinta Kak Ayu.
“Ayah selalu doain Ayu supaya apa yang Ayu cita-citakan terwujud,” kata Ayah.
Setelah dua pekan di rawat di rumah sakit, akhirnya ayah diperbolehkan pulang. Momen ini sekaligus pertama kalinya ayah bertemu dengan putri bungsunya, Adellina. Pertemuan itu begitu haru hingga ayah tak kuasa menahan tangisnya, maklum saat ibu melahirkan ayah tengah menjalani pengobatan di rumah sakit.
“Semoga kamu tumbuh jadi anak yang kuat seperti kakak-kakak kamu ya Del,” ucap Ayah pada bayi kecil itu.
Wajah ayah saat itu benar-benar menyiratkan tanda tanya, menatap putri kecilnya dengan penuh harap, tangis ayah pun akhirnya pecah.
Beralih dari momen itu, sedikit-demi sedikit kebahagiaan mulai menghampiri keluarga kami, hadirnya Adelina memang membuat keluarga kami bangkit dari keterpurukan, kondisi Kesehatan ayah yang terus membaik, Adelina yang tumbuh sehat, dan puncaknya Kak Ayu mendapatkan beasiswa untuk berkuliah ke Kota.
Sore itu Kak Ayu pulang membawa secarik kertas, wajahnya berseri-seri tatkala menunjukan kertas itu pada ibu dan ayah.
“Ibu, Ayah, lihat ini, Ayu dapat beasiswa untuk kuliah di jurusan Pendidikan Anak Usia Dini, di Universitas ternama di kota kita,” kata Kak Ayu.
“Alhamdulillah,” ucap ibu sambil mengecup kening Kak Ayu.
“Alhamdulillah,” sahut ayah sambil membaca secarik kertas itu.
“Ayah bangga Yu sama kamu, semoga Ayah bisa lihat kamu sampai jadi sarjana ya,” harap ayah.
“Pasti dong yah, kita akan ke kota sama-sama untuk lihat Ayu di wisuda nantinya,” kata Ibu.
“Semoga ayah bisa ya nak membiayai kamu kuliah, walaupun udah ada beasiswa kan Ayu di sana butuh makan, butuh tempat tinggal, biar ayah usahakan ya nak,” tutur ayah.
Sejak saat itu, Kak Ayu pun mulai sibuk mempersiapkan kuliahnya. Ia semakin giat belajar dan Menyusun beberapa rencana yang akan dilakukan saat kuliah nanti. Kak Ayu juga udah coba cari-cari pekerjaan paruh waktu supaya bisa menghasilkan uang jajan sendiri. Beberapa kali juga Kak Ayu meminta izin ke kota untuk melihat kampus tempatnya menimba ilmu nantinya. Di saat itu pula, keponakan ayah, Abang Indra juga tinggal di kota yang sama dengan tempat Kak Ayu berkuliah nantinya.
Ayah pun berinisiatif menelepon Bang indra untuk bertanya-tanya soal harga kos di sana, Bang Indra ini memang belum menikah, ia juga hanya bekerja sebagai penjaga toko di kota itu, tapi hati Bang Indra ini amat mulia, setiap bulan ia selalu menyisihkan pendapatannya untuk dikirim ke Atuk dan juga nenek, meski masih hidup pas-pasan, Bang Indra itu cukup dermawan.
Meski kelihatannya kehidupan kami berangsur membaik rupanya fase ini adalah fase terberat bagi aku dan Kak Ayu. Kakakku yang sudah mulai masuk kuliah harus tinggal terpisah dari kami demi cita-citanya, di rumah hanya tersisa aku, ayah, ibu dan adik. Dengan kondisi ayah yang sudah tak lagi prima, ia tetap memaksakan untuk bekerja demi mencukupi kebutuhan kami di rumah dan juga Kak Ayu di Rantau.