Sejak Ayah meninggal dunia, hidup kami pun terus berlanjut. Siapa sangka hari-hari sepeninggal Ayah kian terasa sepi, bagaimana tidak, keluarga yang dulunya harmonis kini harus berjarak karena ambisi masing-masing. Ibu memilih meninggalkanku dengan dalih bekerja, Kak Ayu pun masih sama dengan ambisi mimpinya. Saat itu aku tinggal bersama nenek dan Atuk, ibu merantau ke Jakarta dan Kak Ayu masih di kota.
Awalnya agak tak terima mereka meninggalkan aku begitu saja, namun seirng berjalannya waktu aku mulai menerima keputusan mereka, saat itu aku berpikir 'oh kami hanya terpisah jarak', namun sayangnya semenjak saat itu kami benar-benar berjarak.
Aku mengira meski jauh ibu masih mengingatku, tapi nyatanya tidak. Empat bulan setelah ibu memutuskan merantau, kami berdua pu putus komunikasi, Ibu hanya sesekali membalas pesan singkatku dengan alasan masih sibuk bekerja, ya Ibu ku saat itu bekerja sebagai pegawai di salah satu rumah makan sederhana di Jakarta, namun sibuknya ibu sudah melebihi pejabat negara, sekedar mengabari anaknya saja tidak bisa.
Hari demi-hari hanya aku lalui bersama nenek, Ibu yang awalnya masih mengirimkan uang untuk kebutuhan bulanan ku lewat Atuk, kini selah lepas tanggung jawab. Apalagi kini aku akan segera masuk SMP yang memerlukan biaya cukup besar di awal, kalau aku minta biaya itu ke Atuk, aku rasa tidaklah mungkin. Sebab Atuk hanya petani yang mengolah ladang dengan hasil tak seberapa.
"Mal, coba kau hubungi lagi Ibumu, sebentar lagi kan kau akan masuk SMP, tanyakan pada Ibumu bisa tidak dia membantu membiayainya."
"Pisang yang Atuk tanam masih kecil-kecil, tak mungkin pisang-pisang itu masak saat kau daftar ulang ke SMP," ucap Atuk.
"Sudah coba Ikmal SMS Tuk, sudah Ikmal telepon juga tapi Ibu tak pernah balas," jawabku.
"Terakhir bisa bicara dengan Ibu, dia bilang sedang sibuk, penghasilan Ibu juga tidak seberapa karena ibu cuma kerja di warung makan, belum lagi Ibu harus kost dan membiayai adik yang sebentar lagi mau masuk SD," terangku.
"Ya sudah kalau gitu, semoga saya nanti Atuk bisa bantu kamu," kata Atuk.
Masih dengan harap-harap cemas, aku menunggu kabar Ibu. Hari demi-hari aku selalu berdoa agar ibu bisa pulang dan menemaniku di rumah seperti dulu lagi. Aku pun juga sudah mulai pasrah dengan pendidikanku, aku ikhlas apabila aku harus berhenti sekolah dan tidak bisa melanjutkan pendidikanku ke jenjang SMP.
Tapi lagi-lagi aku merasakan keajaiban pertolongan Tuhan, Bang Indra yang saat itu cuti bekerja ikut berlibur dan menginap di rumah nenek untuk beberapa waktu. Saat Bang indra tinggal di sana, Atuk sudah terlebih dahulu menceritakan permasalahanku yang harap-harap cemas untuk melanjutkan pendidikan ke SMP.
Meski Bang Indra tidak bisa membantu secara keseluruhan biaya aku masuk SMP, tapi solusi dari Bang Indra sangat-sangat membuatku tenang. Dengan informasi yang Bang Indra miliki, ia pun mengajakku ke kelurahan, di sana Bang Indra menanyakan kepada pihak kelurahan adakah beasiswa untuk siswa kurang mampu sepertiku.
Setelah melewati proses pemberkasan dan syarat-syarat yang cukup rumit, alhamdulilah aku mendapatkan beasiswa itu hingga aku SMA nanti, meski biaya sekolahku sampai SMA nanti ditanggung pemerintah buat urusan seragam, buku dan lain-lain aku tetap harus mengusahakannya sendiri.