Aku pikir dengan berpulangnya Ayah dan Bang Indra, juga keputusan ibu untuk menikah lagi sudah cukup memporak-porandakan hidupku. Namun nyatanya badai berhembus di kehidupan ku tak hanya sampai di situ saja. Karena saat ini aku dan Adelina ikut tinggal bersama nenek dan atuk, keduanya mau tak mau banting tulang demi menghidupi cucunya.
Melihat nenek dan atuk yang sudah tua tapi masih bekerja di ladang untuk memenuhi kebutuhan kami, rasanya hatiku teriris. Betapa tidak, nenek dan atuk harus memaksa tubuh rentanya untuk mencari sesuap nasi, sementara ibu kini sibuk dengan keluarga barunya.
"Harusnya yang bertanggung jawab penuh atas aku dan Adelina adalah ibu, tak adil sekali jika nenek dan atuk yang harus merawat dan membiayai kami," ucapku kesal.
Sejak memutuskan menikah dan kembali ke rantau, ibu tak pernah lagi mengabari kami, pesan singkatku beberapa bulan lalu pun diabaikan olehnya. Kak Ayu juga sama saja, ia tak pernah lagi berkabar kepada kami, pulang ke rumah nenek juga sangat jarang, bahkan aku kini tak tahu bagaimana kabar kakak perempuanku itu di rantau.
"Kak Ayu juga sama saja, dia tak lagi menghubungiku, padahal aku hanya ingin tahu keadaannya bukan mau meminta uang," lanjut Ikmal.
Atuk kami ini usianya sudah hampir 80 tahun, meski usianya sudah tak mudah lagi ia masih bugar dan tidak pikun. Tinggal di rumah panggung membuat atuk lebih sehat lantaran di usianya yang menginjak 80 tahun masih kuat naik turun tangga. Atuk kami ini juga terbilang jarang sakit, tapi suatu ketika saat Atuk hendak mengisi air di kamar mandi, atuk terpeleset hingga menyebabkan luka cukup parah di bagian lututnya.
Aku sempat menawarkan agar atuk diperiksakan ke dokter, tapi atuk menolaknya, kata atuk ia masih kuat menahan rasa sakitnya, dia hanya butuh istirahat beberapa hari ke depan.
"Tuk, kita periksa ke dokter saja, biar kaki atuk diobati," pintaku.
"Nggak usah Mal, besok juga paling sembuh, sayang uangnya mending buat beli beras," balas Atuk.
Tapi tiga hingga empat hari kaki Atuk belum juga sembuh, bahkan kondisinya diperparah dengan adanya demam dan pusing di bagian kepala. Sampai akhirnya Atuk bilang ke nenek ia ingin periksa ke dokter lantaran tidak kuat menahan sakitnya.
"Mal, nanti sore tolong antarkan Atuk periksa ke Pak mantri," pinta nenek.
"Tidak sekarang saja nek, Ikmal bisa kalau sekarang, kalau tunggu sore apa tidak kelamaan?" jawabku.
"Pak mantri baru buka jam 4 sore Mal, kalau sekarang beliau praktik di desa sebelah," jelas nenek.
"Oh ya sudah kalau begitu," tukasku.
Kini waktu beranjak senja, jam di ruang tengah pun sudah menunjukan pukul empat sore. Atuk yang hendak periksa pun sudah bersiap-siap, atuk ini selalu berpenampilan rapi saat bepergian, meski bukan pakaian mahal yang ia kenakan, tapi atuk selalu berusaha tampil rapi.