Sepeninggal atuk, pola pikirku pun sedikit demi sedikit terbuka. Bukannya orang-orang beriman Allah panggil terlebih dahulu agar tak merasakan keperihan dunia terlalu lama? kata-kata itu yang menjadi penguat untuk Ikmal, ia pun percaya bahwa ayah, atuk dan Bang Indra merupakan orang-orang baik yang akhirnya Allah ambil terlebih dahulu, Ikmal menyadari bahwa dirinya belum sebaik ayah, atuk dan Bang Indra.
Meski begitu, Ikmal kini menjadi satu-satunya laki-laki di rumah nenek, mau tak mau di usianya yang baru 14 tahun ia juga berperan sebagai pelindung dan juga tulang punggung untuk adik dan neneknya. Lantaran sejak kecil sudah terbiasa diajak ayah ke ladang, kini Ikmal pun mulai serius menggarap ladang di sela-sela kesibukan sekolahnya.
Karena sekarang adiknya ikut tinggal bersama nenek, Ikmal pun berusaha untuk tidak membebani nenek, seminggu sekali ketika sedang libur Ikmal pun tak mau jadi kuli panggul di pasar demi mendapatkan pemasukan tambahan. Memang pekerjaan jadi kuli panggul bukalah pekerjaan yang mudah, terlebih ana-anak seusianya kini lebih suka nongkrong di warnet atau main game di rumah, tapi semua itu dilakukan Ikmal demi adik dan neneknya.
"Ternyata berat juga ya, pagi sekolah, sore ke ladang, Minggu jadi kuli panggul, mana hasilnya pas-pasan," keluh Ikmal dalam hatinya.
Setiap kali ingin mengeluh, Ikmal selalu memandangi wajah nenek yang tak pernah mengeluh meski masih harus berjuang merawat cucu di usianya yang sudah senja.
"Mau ngeluh tapi malu sama nenek, udah tua masih semangat nyadap karet demi aku sama Adelin."
"Harusnya nenek sudah cukup istirahat di rumah saja," sambungnya dalam hati.
Berniat ingin membalas kebaikan nenek, Ikmal pun berusaha untuk tidak merepotkan apalagi menyakiti hati nenek. Dari upah menjadi kuli panggul seharian di pasar biasanya Ikmal sisihkan sedikit untuk sekedar membeli makanan kesukaan nenek, bukan makanan mahal sih tapi setidaknya bisa membahagiakan nenek. Sore itu Ikmal memiliki sedikit sisa uang yang kemudian ia belikan dua kue talam ubi. Ya kue talam ubi merupakan kue kesukaan nenek.
"Cuma cukup buat beli dua kue, ya sudah lah," kata Ikmal.
Ia pun bergegas pulang karena hari sudah semakin gelap.
"Nek, ini Ikmal bawakan kue kesukaan nenek," ucapnya.
"Terima kasih Mal," jawab nenek.
"Adelin, ayo kita makan sama-sama kuenya, kamu bagi dua sama nenek ya, yang satu biar dimakan abangmu," pinta nenek.
"Jangan lah nek, satu Adelin, satunya buat nenek, Ikmal sudah makan tadi," ucap Ikmal berbohong.
Meski perut Ikmal terasa melilit karena seharian belum makan, ia tak tega harus membiarkan nenek membagi dua kuenya dengan Adelin. Setelah mandi Ikmal pun bergegas ke dapur untuk mencari makanan, dia sudah kelaparan sekali. Saat membuka tudung saji, ia menemukan nasi, tempe dan beberapa lalapan mentah, tak berlama-lama ia pun segera mengambil makanan itu.
"Lapar betul agaknya cucuku ini," ucap nenek.
"Bukan lapar nenek, karena lihat masakan nenek sepertinya lezat sekali, Ikmal makannya jadi rakus."
"Makanan nenek ini ngalah-ngalahin menu restoran tau nek," jawab Ikmal.
"Memangnya kamu sudah pernah makan ke restoran?" tanya nenek.
"Belum sih, nanti kalu Ikmal sukses, Ikmal sudah kerja dan punya uang, Ikmal ajak nenek makan di restoran. Sehat terus ya nek, temani Ikmal sampai Ikmal jadi dokter dan bisa bahagiain nenek," pintaku.
"Aamiin cu, tapi kalau nanti nenek tiada, pesan nenek jaga kakak dan adikmu ya," ucap nenek.
"Tidak, nenek sehat sampai bisa lihat Ikmal sukses," tegasku sekali lagi.