Atet memulai aktivitas pagi dengan mencabut rumput-rumput di sekitar tanaman lada yang sudah meninggi. Tangan bekerja, tetapi pikirannya terfokus pada kejadian semalam.
Tiba-tiba, ada suara seseorang yang memanggil membuat Atet menghentikan aktivitasnya sejenak. Dia berjalan sembari mencari asal suara.
"Tet, ka ade gi mane wo?" tanya seseorang dengan bahasa Bangka.
Akhirnya, Atet menemukan orang yang sejak tadi memanggilnya. "Ade ape, Muk?" tanyanya dengan bahasa Bangka pula.
"Ce Liang menitipkan uang ini kepada kamu sebelum dia berangkat ke Jakarta," jawab Amuk yang merupakan tetangga Atet dan adik sepupu dari Aliang.
Atet mengerutkan kening karena tidak biasanya Ce Liang memberi uang padanya secara tiba-tiba. "Kok, dia bisa menitipkan uang ini kepada kamu, Muk?"
"Dia sih bilang uang itu hasil panen cabe yang minggu kemarin. Dia lupa memberikan upah untuk kamu."
Atet baru ingat kalau minggu kemarin ia memanen cabe yang kemudian dijualnya ke pasar. Selain lada, di kebun itu terdapat beberapa tanaman seperti cabe, pisang, sayur-mayur, dan rempah-rempah. Ce Liang yang merupakan pemilik kebun lada itu memang belum memberikan upah kepada Atet.
Atet menerima uang itu. "Oke, deh. Terima kasih, ya."
"Sama-sama, Tet. Aku pulang dulu."
"Hati-hati, Muk."
Atet melihat jumlah uang yang diberikan Amuk tadi. Ternyata, uang itu cukup untuk melunasi uang sekolah Atian. Dia bergegas pulang ke rumah untuk memberi tahu hal ini kepada istrinya.
Athuan sedang menggoreng ikan asin dengan kayu api di dapur untuk menu makan siang keluarganya nanti. Tiba-tiba, Atet memanggilnya dengan suara yang tinggi. Dia segera menghampiri suaminya. "Ada apa, Ko?" tanyanya heran.
"Akhirnya, kita bisa bayar uang sekolah Atian, Dek," jawab Atet dengan nada riang.
Athuan belum paham maksud suaminya. "Bayar pakai apa, Ko? Uang saja kita tidak punya."
Atet menunjukkan beberapa lembar uang ratusan ribu kepada Athuan. "Ce Liang yang memberikan uang ini sebagai upah aku memanen cabe minggu kemarin," jelasnya.
Athuan menghela napas lega. "Oh, syukurlah, Ko. Jadi, Atian bisa ikut ujian minggu depan."
"Selesai masak, kamu cepat-cepat pergi ke sekolah untuk melunasi uang sekolah Atian."
Athuan menerima uang tersebut. "Iya, Ko."
Atet kembali melanjutkan pekerjaannya di kebun lada, sedangkan Athuan melanjutkan kegiatan memasaknya.
Benar kata orang. Rezeki tidak akan pergi ke mana-mana kalau sudah tiba waktunya. Terima kasih sudah memberikan rezeki ini kepada keluarga kami, Tuhan, ucap Athuan lirih di dalam hati sambil membalikkan ikan asin yang digorengnya.
***
Suasana di SD Utama saat jam istirahat selalu ramai dengan murid-murid yang bermain. Ada yang bermain tali, kejar-kejaran, membaca buku di taman sekolah, bercanda ria dengan teman, dan masih banyak lagi.