Suasana pagi ini di kelas 5 A SD Utama agak berbeda dari hari-hari biasanya. Murid-murid di kelas itu enggan berdekatan dengan Atian lantaran termakan oleh hasutan Ahui kemarin. Tidak seorang pun yang mau mengajak Atian berbincang atau bermain. Atian seperti berada di tempat asing. Dia seolah dianggap tidak ada oleh orang-orang di sekelilingnya
Atian sangat sedih, tetapi ia berusaha untuk kuat seperti yang diucapkan oleh ibunya kemarin sore. Aku tidak boleh menangis di depan mereka. Aku harus kuat dan sabar. Semua ini pasti akan cepat berlalu.
Atian hanya bisa melihat teman-temannya bermain dari kejauhan. Dia rindu sekali dengan tawa canda teman-temannya. Dia ingin bergabung dan bermain bersama dengan mereka seperti sediakala. Namun, semuanya sudah berubah sejak kemarin. Dia hanya bisa pasrah dan bersabar melewati masa-masa ini tanpa seorang teman.
Karena jarak antara sekolah dengan rumahnya tidak terlalu jauh, Atian pulang dan pergi sekolah dengan berjalan kaki. Siang ini, dia berjalan lesu menuju rumahnya. Raut wajahnya tampak sedih. Sampai kapan sikap mereka akan kembali seperti dulu? Sampai kapan mereka mau berteman dengan aku lagi? Baru satu hari saja, rasanya sudah seperti satu minggu.
Di tengah perjalanan pulang, Ahui yang dijemput anak buah ayahnya dengan motor, mengejek Atian dengan lantang saat melewati Atian, "Huh, jalan kaki, nih!" Kemudian, Ahui menertawakan Atian.
Atian menarik napas panjang. "Sabar, Tian. Ingat pesan Mama!"
Ahui sudah tiba di rumahnya dengan cepat karena naik motor, sedangkan Atian masih berjalan menuju rumahnya. Tak lama kemudian, Ahui bersepeda ke arah Atian. Dia berniat untuk mengejek Atian lagi. Namun, sebuah kecelakaan terjadi.
Dari arah yang berlawanan, ada sebuah motor yang membawa dua karung pupuk melaju dengan kecepatan sedang, sedangkan Ahui mengendarai sepedanya dengan cepat sehingga tidak menyadari ada lubang di depannya. Ahui terjatuh dan menghalangi badan jalan. Si pengendara motor terkejut dan segera membelokkan motornya ke sisi kiri jalan sehingga menabrak pohon dan terjatuh. Dua karung pupuk yang dibawanya jatuh dan berceceran.
Atian terkejut melihat kejadian itu. Dia berlari menolong Ahui yang terjatuh dari sepeda, kemudian menolong si pengendara motor yang kesulitan berdiri karena tertimpa motor.
Bukannya berterima kasih kepada Atian dan meminta maaf kepada si pengendara motor, Ahui justru berbalik pulang dengan sepedanya sebelum dimarahi oleh si pengendara motor itu karena tidak hati-hati dalam bersepeda.
"Akhiu tidak apa-apa? Apa ada yang terluka?" tanya Atian sembari membantu si pengendara motor untuk berdiri.
"Kaki Akhiu yang sakit. Terima kasih sudah menolong Akhiu, ya." Si pengendara motor memperhatikan wajah Atian dengan seksama. "Kamu anak Atet, 'kan?"
"Auk, Khiu," jawab Atian dengan bahasa Bangka yang berarti iya.
Si pengendara motor mengeluarkan selembar uang lima puluh ribu dan memberikan kepada Atian. "Ambillah untuk kamu jajan!"
Atian menolak. "Tidak perlu, Khiu. Aku ikhlas menolong Akhiu."
Si pengendara motor meraih tangan Atian. "Ambillah! Tidak apa-apa karena kamu sudah menolong Akhiu. Akhiu lebih senang kalau kamu mau menerima uang ini."
Atian merasa tidak enak hati kalau harus menolak lagi. Akhirnya, dia pun menerima uang tersebut. "Sinmung, Khiu," ucapnya berterima kasih dengan bahasa Bangka.
"Sama-sama."
"Aku bantu Akhiu memasukkan pupuk yang tumpah ini, ya." Atian berjongkok untuk memungut pupuk yang berserakan di jalan.
"Tidak perlu. Sebaiknya, kamu segera pulang saja. Nanti mama kamu mencari kamu. Biar nanti Akhiu minta tolong adik Akhiu buat bantu membereskan tumpahan pupuk ini."
Atian berdiri. "Auk, Khiu. Aku pulang dulu."
"Eh, apa nama kamu?"
"Atian, Khiu."
Si pengendara motor melihat anak yang terjatuh tadi sudah tidak ada lagi di tengah jalan. "Oh, ya, Tian. Kamu kenal tidak dengan anak yang terjatuh tadi?"
Atian mengangguk. "Kenal, Khiu."
"Siapa dia?"