Setelah pekerjaannya selesai, Atet pulang dengan memikul dua tandan pisang kepok berukuran sedang di bahunya. Dia berencana akan menjualnya ke pasar setelah pisang itu agak menguning. Saat langkahnya mendekati rumah, dia berhenti. Dia melihat ada keributan di depan rumahnya. "Ada apa, ya? Kok ramai sekali?"
Atet penasaran. Ia mempercepat langkahnya masuk ke dapur melewati jalan belakang rumahnya untuk meletakkan pisang, lalu menghampiri anak dan istrinya di depan rumah.
"Ada apa ini?" tanya Atet meminta penjelasan.
Belum sempat Athuan menjelaskan kepada suaminya, Asian lebih dulu mengambil kesempatan untuk bicara. "Anak kamu sudah mendorong Ahui sampai terjatuh dari sepeda. Lihat lutut anakku! Terluka gara-gara ulah anak kamu! Aku mau minta pertanggungjawaban anak kamu atas perbuatannya kepada Ahui."
Atet menoleh ke arah Atian. "Benar itu, Tian? Kamu yang sudah mendorong Ahui?"
Atian menggeleng. "Bukan seperti itu, Pa. Aku difitnah Ahui. Ahui jatuh dari sepeda karena dia tidak hati-hati. Justru aku yang sudah menolong dia."
"Difitnah?" Asian mendengkus. "Tet, ajar anak kamu untuk bicara jujur! Masih kecil, tetapi sudah pintar berbohong. Bukti sudah ada. Kamu mau sampai kapan membantah terus kalau kamu tidak mendorong Ahui, hah? Apa susahnya berkata jujur? Akui saja kesalahan kamu!"
"Aku sudah berkata sejujur-jujurnya, Ji. Yang aku ceritakan itulah kejadian yang sebenarnya," ungkap Atian.
"Maaf, Ce Sian. Sepertinya, ada kesalahan di sini. Aku selalu mengajarkan anakku untuk bicara jujur. Aku rasa Atian tidak mungkin melakukannya, Ce. Mungkin ini hanya kebohongan Ahui."
"Ahui tidak pernah berbohong!" bantah Asian. "Justru anak kamu yang berbohong. Dia membuat cerita palsu untuk menutupi kelakuan buruknya di depan orang lain."
"Apa Ce Sian tahu kelakuan Ahui selama ini di sekolah?" sindir Atet.
Asian mengerutkan dahi. "Apa maksud kamu, Tet?"
"Ahui yang Ce Sian bangga-banggakan di depan semua orang, ternyata sering mem-bully anakku di sekolah. Dia juga sering mengejek dan menghina anakku. Kemarin dia melarang teman-teman sekelasnya untuk menjauhi anakku. Ce Sian mau tahu apa alasan Ahui? Dia bilang anakku tidak selevel dengan mereka. Apa seperti itu contoh anak yang baik?"
Ahui lantas menunduk, sedangkan Atian terkejut mendengar pembelaan dari sang ayah. Dia berpikir mungkin ibunya yang telah menceritakan kejadian hina itu kepada ayahnya.
Atet melanjutkan, "Sifat Ahui bisa seperti itu pasti karena cerminan dari orang tuanya."
Hati Asian langsung panas seperti ada api yang membakar dirinya setelah mendengar kalimat terakhir yang diucapkan oleh Atet. "Jaga mulut kamu itu, Tet! Jangan asal bicara! Apa maksud kamu, hah? Mau menyindir aku?"
"Aku tidak menyindir siapa pun, Ce. Memang seperti itu kenyataannya, 'kan? Jangan Ace pikir aku tidak tahu! Ace suka mengumbar aib orang lain. Seharusnya, Ace sendiri yang harus jaga mulut Ace dengan baik."
"Aib siapa?" Asian pura-pura tidak tahu. "Oh, aib kalian maksudnya? Kenapa? Kalian malu karena orang-orang tahu aib kalian itu? Kalau masih tahu malu, cepat bayar utang kalian yang sudah menumpuk di toko suamiku! Berutang terus, tetapi tidak dibayar-bayar. Kalian pikir ambil barang-barang di toko itu tidak perlu modal?"
Athuan tahu suaminya sudah kesal dengan sikap Asian. Dia segera memberi syarat kepada suaminya untuk diam sejenak. Akhirnya, dia yang mengambil alih untuk bicara. "Kami tahu, Ce, tetapi kami tidak bisa berbuat banyak. Kalau punya uang, kami pasti akan langsung bayar utang-utang itu. Kami juga tidak akan mau berutang di toko Ko Fong, tetapi mau bagaimana lagi, Ce? Keadaan kami susah seperti ini."
Asian malas mendengar curhatan Athuan. "Apa pun alasan kalian itu, aku tidak peduli! Yang penting, urusan utang kalian segera dilunasi! Lalu, bagaimana pertanggungjawaban anak kalian kepada Ahui?"
Di tengah pembicaraan antara dua keluarga itu, ada sebuah mobil pick-up putih berbelok ke arah rumah Atet. Ketika mobil itu berhenti, Ahui segera bersembunyi di belakang ibunya. Dia tidak mau bertemu dengan seseorang yang terjatuh dari motor tadi. "Ma, ayo, kita pulang sekarang!" ajaknya pelan.
Asian merasa heran dengan sikap Ahui yang tiba-tiba berubah. "Mengapa kamu bersembunyi seperti ini?"
"Aku mau pulang sekarang, Ma." Ahui semakin mendesak ibunya sebelum orang itu melihat dirinya.
"Pulang sekarang? Masalah kita 'kan belum selesai, Hui. Nanti saja kita pulang setelah Atian bertanggung jawab atas perbuatannya." Asian menolak ajakan Ahui. Anak itu kehabisan akal. Dia tidak bisa membujuk ibunya jika sudah bertekad seperti itu. Mau tidak mau, dia harus menuruti ibunya. Dia juga harus bersiap diri karena sebentar lagi semuanya akan terbongkar.