Setelah makan malam, Atet duduk santai di teras sambil menikmati kopi buatan istri tercintanya. Di sampingnya, ada Athuan yang duduk menemaninya. Seperti biasa, mereka berbincang banyak hal.
Teringat dengan percakapan singkatnya dengan Afong tadi pagi, Athuan bercerita. "Ko, tadi pagi pas pengambilan raport, aku bertemu dengan Ko Fong. Dia bilang Ce Sian masuk rumah sakit karena stroke."
"Stroke?" Dahi Atet berkerut, lalu merespons santai. "Mungkin itu karma yang didapatnya setelah menghina keluarga kita."
"Hush, jangan bicara seperti itu, Ko! Tidak baik!"
"Bisa jadi, 'kan? Stroke yang dialaminya bukan sakit semata, tetapi juga karma dari Tuhan."
"Kalau masalah karma atau tidak, kita tidak tahu, Ko. Kita doakan saja semoga Ce Sian cepat sembuh dan bisa berubah menjadi orang yang lebih baik dari sebelumnya. Ada baiknya, kita jenguk dia besok ke rumah sakit."
"Kamu saja yang jenguk dia. Aku tidak mau ikut."
"Lho, kenapa Koko tidak mau ikut? Bagaimanapun juga, dia itu tetangga kita, Ko. Kita harus tunjukkan kepedulian kita kepada keluarganya. Seenggaknya, mereka tahu kita ada datang. Sebentar saja juga tidak apa-apa, kok." Athuan terus membujuk suaminya, tetapi Atet tetap menolak ikut.
"Kamu lupa bagaimana sikap Ce Sian saat datang ke rumah kita? Tidak ada sopan santunnya. Marah-marah, lalu menuduh dan meminta pertanggungjawaban anak kita atas apa yang tidak dilakukannya. Sampai sekarang, aku masih kesal dengan sikap dia, Dek. Mentang-mentang dia orang kaya, seenaknya saja dia menginjak harga diri kita. Dia pikir kita ini apa? Biarpun miskin, kita juga manusia yang ingin dihargai. Bukan dihina atau dicaci-maki seperti waktu itu. Kalau sudah begini, dia punya harta banyak pun tidak ada gunanya. Akan habis karena sakitnya itu," ungkap Atet mengeluarkan keluh-kesahnya.
"Sabar, Ko. Kita ikhlaskan saja apa yang dia dan anaknya lakukan terhadap keluarga kita. Lagipula, semuanya sudah terjadi. Kita ambil hikmahnya saja. Pasti ada sesuatu yang indah di kemudian hari."
Atet menghela napas pendek. "Semoga saja, Dek."
"Lalu, apa besok kita akan pergi ke rumah sakit?" tanya Athuan yang tidak menyerah.
"Lebih baik tunggu Ce Sian pulang ke rumah saja. Kamu bisa bebas menjenguknya. Yang pasti, aku tidak mau pergi menemuinya."
Athuan menghela napas kasar. "Baiklah." Dia terpaksa menuruti saran suaminya daripada terlibat adu mulut yang tidak akan ada habisnya.
***
Satu minggu kemudian, Athuan mendapat kabar dari tetangganya bahwa Asian sudah kembali ke rumah. Athuan pamit kepada suaminya untuk menjenguk Asian. Atet pun mengizinkannya pergi.
Athuan pergi ke rumah Asian dengan berjalan karena jarak rumah mereka yang tidak terlalu jauh. Saat langkahnya hampir mendekati rumah Asian, dia melihat Asian ada di teras rumahnya dengan duduk di kursi roda.
Athuan langsung teringat dengan kejadian tiga minggu yang lalu. Bayangan demi bayangan bagaimana wanita itu mencaci-maki dan menghina keluarganya terputar kembali di ingatannya. Jika ditanya apa dia masih kesal kepada Asian, sejujurnya iya. Namun, melihat kondisi Asian seperti sekarang membuat hati kecil Athuan menjadi iba. Akhirnya, dia pun memantapkan langkahnya untuk mendekati rumah Asian. Dia tidak peduli si pemilik rumah akan mengabaikannya atau menghinanya lagi. Yang penting, dia masih punya rasa peduli kepada tetangganya itu.
"Ce Sian," panggil Athuan yang membuat tatapan kosong Asian beralih ke Athuan.
"Athuan," balas Asian dengan suara yang tidak jelas.
Walaupun samar-samar, Athuan masih bisa menangkap suara Asian dengan baik. "Iya, Ce. Aku datang jenguk Ace. Bagaimana keadaan Ce Sian sekarang?"
Mata Asian memerah, lalu berair. Tangannya mengambang, memberi isyarat kepada Athuan untuk lebih mendekat ke arahnya.
Athuan pun menurut. Dia mendekati Asian. "Ada apa, Ce? Ce Sian butuh sesuatu?"
Mulut Asian sedikit terbuka, tetapi tampak dia kesulitan untuk bicara. Athuan mengerutkan dahi karena tidak mengerti bahasa tubuh Asian.