Secercah Asa di Desa Lada

Steffy Hans
Chapter #10

Enam Tahun Kemudian

Telah banyak waktu yang Atian dan orang tuanya lalui. Berbagai masalah pun tak hentinya menghampiri mereka. Meski demikian, mereka tidak pernah putus asa, selalu semangat menjalani hari, dan saling bergandeng tangan saat suka maupun duka. Itulah kekuatan sebuah keluarga. Tak peduli badai menerjang, mereka akan selalu bersama.

Tidak terasa, enam tahun telah berlalu. Atian yang dulu masih duduk di bangku SD kelas 5, kini sudah duduk di bangku SMK kelas XI. Wajahnya yang polos kini telah berubah menjadi remaja laki-laki yang tampan dan tentunya sudah banyak prestasi yang telah diraihnya, baik dari sekolah maupun luar sekolah. Dia juga aktif mengikuti ekstrakurikuler olahraga basket. Berkat olahraga tersebut, postur tubuhnya kini menjadi tinggi dan berotot.

Selain itu, Atian juga suka membantu Atet bekerja di kebun lada. Dari suka membantu itulah, dia sering mendapat uang dari ayahnya. Walaupun sedikit, dia tabung di celengan untuk masa depannya. Dia yakin sedikit demi sedikit uang yang ditabungnya itu akan semakin banyak suatu hari nanti.

Malam ini, Atian dan Atet pergi ke pasar malam yang berada di daerah Desa Lada untuk menjual cabe rawit merah hasil panen kebun sore tadi. Ayah dan anaknya itu menawarkan hasil panen mereka ke setiap kios pedagang cabe.

Tak lama kemudian, cabe mereka terjual habis. Atet memutuskan untuk pulang. Namun, ditolak oleh Atian.

"Sebelum pulang, kita beli jajanan untuk Mama dulu, Pa. Mama 'kan suka sate ayam."

Atet setuju. "Baiklah. Kamu saja yang pergi beli sate untuk Mama. Papa tunggu kamu di sini. Ini uangnya."

Atian menerima uang tersebut, lalu bergegas pergi ke tukang sate ayam di deretan kios makanan. "Bang, beli sate ayam 20 tusuk, ya!"

"Oke, Ko. Tunggu sebentar, ya!"

"Iya, Bang."

Ramainya calon pembeli membuat Atian harus mengantre sampai gilirannya tiba. Bila dihitung, dia berada di antrean nomor 6. Tak lama kemudian, antrean semakin bertambah. Ada 2 calon pembeli yang ikut mengantre di belakangnya.

Wajar saja jika antreannya panjang. Sate Ayam yang dijual tukang sate ini sudah terkenal lezat sejak lama karena turun-temurun dari zaman kakeknya. Dia semakin kewalahan melayani pesanan. Atian pun berinisiatif untuk membantunya.

"Jangan, Ko. Biar saya saja," tolak tukang sate itu. Dia merasa tidak enak hati.

"Tidak apa-apa, Bang. Biar cepat selesai dan pembeli tidak lama mengantre."

"Ya, sudah. Ako bantu membungkus saja, ya." Akhirnya, tukang sate itu menerima bantuan Atian.

Atian berdiri di samping tukang sate. Dia mulai membungkus sate sesuai jumlah pesanan para pembeli dan memberikannya kepada pembeli.

"Ini satenya, Moi," ucap Atian kepada pembeli yang masih gadis.

"Kito lui semuen a?" tanya gadis itu dengan bahasa Tionghoa Bangka.

"Liong ban, Moi," jawab Atian dengan bahasa Tionghoa Bangka.

Gadis itu menyerahkan uang selembar dua puluh ribu kepada Atian. "Sinmung, ok."

"Sama-sama, Moi."

Setelah mengambil sate pesanannya, gadis itu berbalik pulang bersama temannya.

"Mei, cowok tadi ganteng, ya," ucap teman gadis itu.

Gadis yang disapa Amei itu tersenyum. "Kalau urusan cowok ganteng, respons kamu paling cepat, Lin."

Alin tertawa geli. "Kalau yang jual sate seganteng dia, sudah pasti sate di sana akan laris-manis. Besok aku mau beli sate di sana, deh. Biar bisa sekalian cuci mata lagi."

Lihat selengkapnya