Dalam rangka perayaan ulang tahun yang ke-5, SMA Bangsa mengadakan berbagai acara dan perlombaan dengan sekolah lainnya. Salah satunya adalah pertandingan basket.
Sebagai tuan rumah dalam pertandingan basket, SMA Bangsa telah menyiapkan segalanya dengan maksimal. Mulai dari menyediakan bangku panjang untuk penonton, makanan ringan dan minuman gelas untuk tamu (pelatih, wakil guru, dan para pemain basket) yang datang, meja juri hingga memasang spanduk penyambutan untuk sekolah yang diundang.
Sebelum masuk ke bus sekolah, Pak Haris selaku pelatih tim basket SMK Utama memberi motivasi singkat kepada para pemain yang dilatihnya. "Seperti yang kita tahu, SMK Utama akan bertanding basket di SMA Bangsa hari ini. Kalian pasti sudah tahu, 'kan? Lawan kita ini bukanlah tim yang rendahan. Jadi, kalian tidak boleh lengah atau pun meremehkan kemampuan mereka. Kalian harus menunjukkan kemampuan kalian dengan maksimal kepada mereka dan tetap jaga kekompakan tim kalian."
"Lalu, bagaimana jika kita kalah lagi, Pak?" tanya Amin—salah satu pemain. Sebelumnya, tim mereka pernah dua kali kalah saat bertanding dengan tim SMA Bangsa.
Pak Haris mondar-mandir di depan para pemain sambil memberi motivasi singkat. "Sudah berulang kali Bapak tegaskan kepada kalian semua. Jangan pernah memikirkan menang atau kalah sebelum bertanding! Berusahalah dengan sebaik mungkin! Jangan sia-siakan waktu yang sudah kalian habiskan untuk latihan! Kekompakan kalian di lapangan sangatlah berpengaruh pada hasil akhir agar kita bisa membawa nama baik sekolah dan tim kita. Apa kalian paham?"
"Paham, Pak!" sahut para pemain serempak.
"Oke. Sekarang kalian segera masuk ke bus. Sebentar lagi kita berangkat," pungkas Pak Haris. Kemudian, para pemain masuk ke bus dan duduk di bangku yang sudah tersedia.
***
Amei dan Alin sedang duduk di bangku panjang yang terdapat di depan kelas mereka untuk menonton pertandingan basket antara sekolah mereka melawan SMK Utama.
"Mei, menurut kamu, pemain basket dari SMK Utama ganteng-ganteng, tidak?"
Amei mengangkat bahunya. "Tidak tahu, Lin. Mereka 'kan belum datang."
"Ya ... ini 'kan menurut kamu saja."
"Tunggu mereka datang dulu, aku baru bisa menilainya, Lin."
Kemudian, Amei dan Alin keheranan melihat siswi-siswi lainnya berlarian menuju lapangan basket.
"Lho, mereka kenapa, ya? Kok, berlarian ke lapangan?" tanya Alin yang penasaran.
"Entahlah. Apa pemain basket dari SMK Utama sudah datang?" tebak Amei.
Alin menarik tangan Amei, lalu berdiri. "Ayo, kita juga berdiri di sana, Mei! Kalau kita tetap duduk di sini, kita tidak bisa melihat mereka."
"Baiklah." Amei tergopoh-gopoh mengikuti langkah Alin menuju area lapangan basket.
Alin menerobos barisan siswi yang sudah memenuhi tepi lapangan basket supaya dia dan Amei bisa berdiri di barisan paling depan dan melihat para pemain basket SMK Utama dengan jelas.
Sebenarnya, Amei malas berdiri di barisan paling depan seperti ini. Cukup melihat di barisan belakang juga tidak masalah. Namun, demi mengikuti keinginan Alin, dia terpaksa berdiri di sana.
Aloi menyenggol siku Ahui. "Hui, lihat, deh! Amei berdiri di barisan paling depan, tuh. Dia pasti mau mendukung kamu."
Ahui tersenyum lebar. "Sudah pasti, Loi," balasnya dengan penuh percaya diri. Dia pun melambai ke arah Amei.
Alin yang tidak sengaja melihat lambaian Ahui, berkata kepada Amei, "Mei, Ahui melambai kamu. Apa kamu tidak mau membalas lambaian dia?"
Amei menoleh sekilas ke arah Ahui, lalu mengalihkan tatapannya dengan cepat. "Tidak, Lin. Biarkan saja."
"Eh, kamu tidak boleh seperti itu. Dia itu 'kan cowok idola di sekolah kita. Kapten tim basket lagi. Sepertinya, dia semakin suka sama kamu. Dia juga senyum ke arah kamu," sambung Alin.
"Aku tidak peduli. Aku tidak suka tipe cowok seperti dia. Sukanya hanya cari perhatian ke para siswi di sekolah kita."
Ahui menurunkan tangannya karena Amei mengabaikannya. Dia menghela napas pelan. Sepertinya, aku harus bergerak cepat untuk mendapatkan hati Amei sebelum dia memilih orang lain.