Hari ini, Asun (ayahnya Amei) berulang tahun yang ke-51. Acaranya digelar secara besar-besaran. Dia mengundang semua warga desa Lada tanpa terkecuali di rumahnya.
Setelah Atian memarkirkan motor bututnya, dia dan ibunya berjalan memasuki pekarangan rumah Asun. Mereka dan ratusan orang lainnya berbondong-bondong untuk bersalaman dengan Asun.
"Terima kasih ucapannya. Silakan kalian nikmati makanan yang tersedia!" ucap Asun setelah Athuan dan Atian mengucapkan selamat ulang tahun kepadanya.
"Iya, Ko." Athuan dan Atian melangkah ke deretan pondok makanan.
Ada 9 pondok makanan yang berjejer di pinggir pagar rumah Asun. Di antaranya adalah thewfu fa, otak-otak, martabak telur, sagu gunting, es lilin, bakmi, bakso, kue, dan buah.
Karena semakin padat, Athuan dan Atian hanya mencicipi beberapa makanan. Saat sedang mengantre untuk mengambil nasi, Atian melihat Ahui dan ayahnya sedang berbincang akrab dengan Asun, si pemilik pesta dan seorang perempuan muda.
Atian mengerutkan dahinya. Dia merasa pernah bertemu dengan perempuan yang berdiri di samping Asun. "Dia siapa, ya?"
Asun tertawa ringan saat berbincang santai dengan Afong. "Kalau anak-anak kita jadi menikah, kita bisa jadi chinka, Fong."
"Kamu benar, Sun, tetapi kita tidak bisa memaksa mereka untuk saling suka. Kalau mereka memang bisa jadian, aku sangat senang. Hubungan kita tidak hanya jadi teman, tetapi juga bisa jadi keluarga besar," ungkap Afong.
"Bagaimana, Hui? Kamu suka tidak dengan anak dayang Akhiu ini?" tanya Asun.
Ahui menjawab dengan senyuman lebar, "Aku sudah suka Amei sejak kami masuk SMA Bangsa, Khiu."
"Oh, ya?" Asun menatap Amei dan Ahui bergantian. "Itu berarti kalian satu sekolah, dong?"
"Auk, Khiu," sahut Ahui.
Amei mengalihkan tatapannya. Dia enggan menatap Ahui walaupun sebentar saja. Menurutnya, Ahui hanya cari muka di depan ayahnya. Tak disengaja, tatapan dia bertemu dengan Atian. Eh, bukannya itu cowok yang dikagumi Alin? Kalau Alin tahu dia ada di sini, Alin pasti senang sekali.
"Bagaimana jika kalian berdua pendekatan dulu? Setelah merasa cocok satu sama lain, kalian bisa ke tahap jadian. Akhiu sangat setuju kalau kamu bisa berhubungan dengan Amei," ungkap Asun kepada Ahui.
"Terima kasih sudah memberi restu kepada kami, Khiu. Aku yakin Amei tidak akan menolaknya," tanggap Ahui.
"Kamu mau 'kan, Mei?" tanya Asun.
Amei tidak mendengar percakapan Asun dengan Ahui dengan jelas karena terlalu fokus menatap Atian.
Asun memanggil Amei berulang kali sampai Amei menoleh ke ayahnya. "Iya, Pa."
"Kamu sedang melamunkan apa, sih? Kamu dengar tidak apa yang Papa bicarakan tadi?"
Amei menggeleng. "Sorry, Pa. Aku tidak tahu."
Asun menghela napas pendek. "Papa mau kamu dan Ahui menjalani pendekatan dulu untuk saling mengenal satu sama lain. Kalau sudah cocok, kalian bisa ke tahap jadian. Bagaimana menurutmu, Mei?"
"Aku tidak suka Ahui, Pa. Jadi, aku tidak mau pendekatan dengan dia." Usai mengatakannya, Amei meninggalkan ayahnya.
Asun merasa malu dan tidak enak hati di hadapan Afong dan Ahui. Dia memaksakan bibirnya untuk tersenyum. "Maafkan kata-kata Amei, Hui, Fong. Anak itu sudah keterlaluan. Tidak tahu sopan santun. Nanti aku bicarakan hal ini dengan Amei lagi. Siapa tahu dia setuju pendekatan dengan kamu, Hui."
Ahui mengangguk kecil. "Tidak apa-apa, Khiu. Aku sudah biasa dengan sikap Amei yang tidak acuh kepadaku. Di sekolah dia juga seperti itu."
Asun menepuk pundak Ahui. "Kalau kamu mau bersabar dengan sikap Amei, Akhiu yakin Amei pasti luluh dan mau menerima kamu sebagai pasangannya."
"Auk, Khiu."
"Oke, deh. Fong, Hui, kalian nikmati semua makanan yang sudah aku sediakan ini. Maaf aku tidak bisa menemani kalian lebih lama. Aku harus menyapa tamu-tamu yang lain."
"Sinmung, Sun." Afong dan Ahui berjalan menuju deretan pondok makanan. Mereka terpaksa mengantre karena padatnya tamu undangan yang hadir.
"Lin," Amei memanggil Alin sambil melambai. "Sini jitha. Ku nek mada ka."
Alin yang sedang mengantre di pondok bakso, bergegas menghampiri Amei. "Ada apa, Mei?"