Bel pulang berbunyi. Alin dan Amei yang duduk sebangku—sibuk memasukkan buku-buku ke tas. Alin menoleh ke Amei. "Mei, kamu mau pulang sama-sama denganku atau dijemput sama sopir?"
Ketika Amei akan menjawab, Ahui menyela cepat, "Tidak. Amei akan pulang bersama denganku. Iya, 'kan, Mei?"
Amei berdiri, lalu menatap Ahui tajam. "Apa maksud kamu, Hui? Jangan asal bicara! Aku sudah menelepon sopir untuk menjemputku. Jadi, aku tidak akan pulang bersamamu."
Ahui mencekal tangan Amei saat Amei akan melewatinya. "Mengapa kamu selalu menghindar dariku, Mei? Apa aku punya salah kepadamu?"
"Ya, kamu punya salah. Kamu sudah salah menyukai perempuan yang tidak tepat, seperti aku."
"Mengapa kamu bicara seperti itu, Mei? Aku tidak pernah salah menyukai seseorang karena kamu adalah cinta pertamaku. Jadi, aku tidak akan pernah melepaskanmu, apalagi merelakanmu bersama lelaki lain."
Amei melepas tangannya yang dicekal Ahui. "Kamu tidak berhak mengekangku karena kamu bukan siapa-siapa aku, Hui. Sekalipun dunia akan kiamat, aku tidak akan pernah bisa membalas perasaanmu. Sebaiknya, kamu berhenti menyukaiku. Masih banyak perempuan lain yang bisa kamu sukai."
"Sekalipun waktu berhenti berputar, aku tidak bisa berhenti menyukaimu, Mei. Kamu sudah menjadi pemilik hatiku sejak pertama kali kita bertemu."
"Sayangnya, rasa sukamu itu bertepuk sebelah tangan, Hui. Jadi, kumohon biarkan aku memilih pasangan hidupku sendiri."
"Kamu hanya akan menjadi pasanganku, Mei. Aku yakin kamu bisa menyukaiku, asalkan kamu mau membuka pintu hatimu untukku." Suara Ahui agak pelan dan terdengar memohon. "Beri aku kesempatan untuk membuktikannya kepadamu, Mei!"
"Tidak ada yang perlu dibuktikan, Hui. Aku sudah memberitahumu sejak awal bahwa aku tidak bisa menerima perasaanmu. Jadi, berhentilah menyukaiku!" Lantas, Amei pergi meninggalkan Ahui.
Alin berteriak sambil menyusul Amei, "Mei, tunggu aku!"
Ahui menumpahkan semua rasa kesalnya atas penolakan Amei dengan berteriak frustrasi sambil menendang kaki meja. Kedua tangannya mengepal di meja. "Aku yakin ini semua gara-gara Atian yang sudah meracuni pikiran Amei sehingga dia menolakku. Aku tidak rela Amei diambil orang lain. Dia hanya akan menjadi milikku sampai kapan pun. Lihat saja nanti, Tian! Aku akan melakukan sesuatu padamu!"
***
Ahui, Ali, dan Aloi menghentikan motornya di tengah jalan yang biasa dilewati Atian. Ketika motor Atian tampak dari kejauhan, mereka bertiga bersiap-siap.
Atian mengerutkan dahi. Apa lagi yang akan dilakukan Ahui dan dua temannya itu? Pasti akan membully aku lagi. Sama seperti saat aku masih SD dulu. Ternyata, mereka tidak jera sampai sekarang.
Atian menghentikan motornya. Memberi jarak dengan Ahui dan dua temannya. "Ini jalan umum. Kalian tidak berhak menutup akses jalan seperti ini."
Ahui tersenyum miring. "Kamu tidak perlu berlagak bijak, Tian. Tujuanku berada di sini adalah menunggumu pulang."
Atian tertawa kecil. "Menungguku? Apa kalian tidak salah?"
"Kamu jangan terlalu percaya diri dulu! Kami menunggumu di sini karena kami ingin membuat perhitungan denganmu."
"Perhitungan apa? Aku tidak pernah mengganggumu atau merebut barang milikmu."
Sebelah alis Ahui terangkat. "Tidak pernah merebut? Sudah jelas kamu merebut hati gadis yang kusukai."
"Siapa?" tanya Atian.
"Cih, kamu pura-pura tidak tahu! Siapa lagi kalau bukan Amei?"
Atian menghela napas pendek. "Kamu salah paham, Hui. Aku tidak pernah merebut Amei dari siapa pun. Lagipula, Amei masih lajang. Kurasa hal itu wajar dan lelaki mana pun boleh mendekatinya."
Ahui mengepal kedua tangannya di samping tubuhnya dan sorotan matanya yang kian menajam menatap Atian. "Walaupun status dia masih lajang, dia adalah cinta pertamaku. Tidak ada seorang pun yang bisa memilikinya atau mendekatinya, selain aku. Ingat itu!"
Atian tertawa singkat. "Pikiranmu terlalu sempit, Hui! Kamu boleh mencintai Amei, tetapi kamu tidak boleh menjadikannya hanya milikmu seorang. Itu sama saja kamu mengekang dia."
Ahui melangkah maju mendekati Atian diikuti Ali dan Aloi, kemudian menyisakan sedikit jarak di depan Atian. "Sudah cukup mengguruiku, Tian! Aku tidak butuh nasihatmu!"
"Ternyata, kamu tidak pernah berubah, Hui."
Ahui menyeringai. "Selama kamu mengusik ketenanganku, maka aku akan terus mengganggumu. Sekarang rasakan ini!" Salah satu tangannya mengepal dan terangkat ke wajah Atian.
Atian menangkap tangan Ahui dengan sigap. Dia tidak membiarkan Ahui memukul wajahnya sendiri. "Berhentilah menggangguku, Hui! Apa kamu belum puas mem-bully aku saat kita masih SD? Sekarang kita sudah sama-sama remaja, bukan anak-anak lagi, Hui. Sikap dan pikiran kita juga harus berubah." Usai menasihati Ahui, Atian melepas tangan Ahui, lalu menyalakan motornya dan pergi.
Ketika Ali dan Aloi akan menyusul Atian dengan motor mereka, Ahui menghalangi mereka. "Biarkan saja dia pergi!"