Sebuah mobil putih berhenti di depan sekolah SMK Utama. "Mang, tunggu sebentar, ya! Aku ingin menemui temanku," ucap Amei kepada sopirnya.
"Iya, Non. Jangan terlalu lama, ya! Saya takut dimarahi Bapak nanti."
"Mang Dimas jangan khawatir! Aku pastikan Mang Dimas tidak akan dimarahi papa, asalkan Mang Dimas bisa tutup mulut soal keberadaanku di sini."
"Iya, Non."
Amei keluar dari mobil, lalu berdiri di pinggir gerbang sekolah tersebut. "Atian sudah pulang atau belum, ya? Semoga saja aku bisa bertemu dengannya."
Kebetulan, motor Adi melewati gerbang dan tidak sengaja melihat Amei ada di depan sekolahnya. "Mei, apa yang kamu lakukan di sini?"
Amei senang bertemu dengan Adi—sepupunya. "Di, Atian sudah pulang belum? Aku mau bertemu dengan dia. Kamu bisa panggilkan dia sebentar?"
"Maaf, Mei. Aku tidak bisa memanggilnya ke sini. Dia sedang rapat bersama pelatih dan tim basketnya." Adi mengerutkan dahi. "Tumben sekali kamu mencari dia! Memangnya, ada apa?"
"Ada yang ingin aku bicarakan dengan dia," jawab Amei.
"Mengapa kamu tidak menemui Atian langsung di rumahnya?"
"Ke rumah dia? A—aku tidak tahu alamat rumahnya, Di."
"Kamu tahu kebun lada milik thaiji Liang?"
Amei mengangguk. "Iya, aku tahu. Lalu, apa hubungannya dengan Atian?"
"Rumah Atian berdekatan dengan kebun lada itu."
"Oh, oke. Terima kasih atas infonya, Di."
"Sama-sama. Aku pulang dulu, ya."
"Iya, Di. Hati-hati. Oh, ya. Kamu jangan beri tahu papa aku kalau aku datang ke sini untuk bertemu dengan Atian."
"Kamu tenang saja, Mei. Kamu bisa mengandalkan sepupumu yang tampan ini. Bye, Mei."
Apa aku harus mengikuti saran Adi tadi? Ya, itu lebih baik. Aku bisa bebas berbincang dengan Atian.
***
Amei mondar-mandir di dalam kamarnya sembari menggigit jarinya. "Bagaimana cara aku bisa pergi ke rumah Atian, ya? Kalau aku bicara secara langsung, papa pasti tidak akan mengizinkan aku pergi."
Tiba-tiba ponselnya berdering. Amei mengambil ponselnya dan melihat nama Alin tertera sebagai penelepon. Dia menggeser tombol hijau. "Halo, Lin."
"Mei, aku bosan di rumah. Aku datang ke rumah kamu, ya."
Tiba-tiba, terlintas sebuah ide di otak Amei. Kalau Alin datang ke sini, aku bisa mengajak dia pergi ke rumah Atian. Papa pasti mengizinkan aku pergi.
"Datang saja, Lin."
"Oke, aku segera meluncur ke rumahmu."
Lima belas menit kemudian, Alin tiba di rumah Amei. Amei langsung menyeretnya masuk ke kamar.
"Ada apa, Mei? Mengapa kamu menyeretku ke kamarmu?"
"Kamu mau menolong aku tidak? Aku sangat butuh bantuanmu," pinta Amei.
"Tentu saja aku mau, Mei. Kamu mau minta bantuan apa?"
"Aku ingin mengajakmu ke rumah Atian. Kalau aku pergi dengan kamu, papa pasti memberi izin."
"Untuk apa kamu ke rumah Atian?" Alin belum sepenuhnya melupakan Atian. Masih ada rasa cemburu terselip di hatinya.