Patah hati, itulah yang dirasakan Atian. Namun, apa mau dikata? Ingin berontak pun percuma. Amei, satu-satunya gadis yang dicintainya menikah hari ini. Kebahagiaan yang seharusnya dirasakannya dengan Amei, justru berpaling pada Ahui.
Sejak pertemuan terakhirnya dengan Amei, Atian sering duduk termenung di teras. Merenungi semua yang sudah terjadi pada dirinya, seperti hari ini.
Athuan cemas melihat perubahan sikap Atian. Dia duduk di sebelah Atian. "Mama perhatikan kamu sering duduk melamun di sini, Tian. Sebenarnya, apa yang sedang kamu pikirkan? Berbagilah dengan Mama!"
Atian menghela napas panjang. "Bukan masalah yang besar, Ma."
"Apa ... ada hubungannya dengan Amei?" tebak Athuan. "Mama dengar dia menikah hari ini. Apa kamu tahu itu?"
Raut wajah Atian semakin tampak sedih. Hal itu semakin meyakinkan dugaan Athuan bahwa masalah yang dihadapi anaknya itu berhubungan erat dengan Amei.
"Mama tahu kamu diam-diam berpacaran dengan Amei."
Atian terkejut dengan pernyataan ibunya. "Dari mana Mama tahu?"
Athuan tersenyum. "Mama yang sudah melahirkan dan membesarkan kamu. Tentu saja Mama tahu apa yang kamu rasakan dan alami. Saat itu, Mama pulang dari pasar. Secara tidak sengaja, Mama melihat kamu sedang berboncengan dengan Amei. Dari situ, Mama menyimpulkan bahwa kalian berdua pacaran secara diam-diam. Alasannya pasti karena tak ingin Mama, papa, dan ayahnya Amei tahu, 'kan?"
Atian mengangguk. "Iya, Ma. Setelah tahu, apa Mama marah padaku karena tidak berkata jujur pada Mama dan papa?"
"Untuk apa Mama marah? Mama sangat memaklumi apa yang terjadi di antara kalian berdua. Kamu sudah besar, Tian. Kamu sudah bisa memilih mana yang terbaik untuk masa depanmu dan tidak. Mama tidak berhak untuk mencampurinya. Mama hanya bisa menyemangatimu dan mendoakan yang terbaik untukmu."
Atian spontan memeluk Athuan. "Terima kasih, Ma. Terima kasih atas perhatian dan dukungan Mama selama ini."
Athuan membalas pelukan Atian. "Sama-sama, Tian. Mama akan selalu ada untukmu."
Atian melepas pelukannya. "Aku sangat beruntung memiliki Mama dan papa. Kalian adalah orang yang sangat aku sayangi."
"Oh, ya. Apakah kamu tidak jadi pergi ke Jakarta itu karena Amei?"