"Sebenarnya, Ibu tidak mau mengatakan hal ini kepada kamu, Tian. Namun, apa yang akan Ibu sampaikan ini sangat penting untukmu. Kamu sudah menunggak uang sekolah selama tiga bulan. Hal itu sangat berpengaruh pada Ujian Akhir Semester kamu minggu depan. Jika orang tuamu tidak segera melunasinya, maka kamu tidak bisa ikut ujian nanti. Ibu sangat mengerti bagaimana kondisi keuangan orang tuamu, tetapi maaf, Ibu tidak bisa memberi keringanan biaya kepada kamu karena ini sudah menjadi keputusan pihak sekolah," jelas Ibu Ratna selaku guru Tata Usaha SD Utama, lalu ia memberikan sepucuk surat beramplop putih kepada Atian. "Tolong, kamu sampaikan surat ini kepada orang tuamu! Minta mereka untuk segera melunasinya, ya."
Atian menunduk sedih, lalu menerima surat itu. "Iya, Bu. Akan saya sampaikan kepada orang tuaku."
"Itu saja yang ingin Ibu sampaikan, Tian. Kamu bisa kembali ke kelas sekarang."
"Baik, Bu." Atian berdiri dan menunduk sebagai tanda memberi hormat. "Saya permisi ke kelas, Bu. Terima kasih."
Di luar ruangan Tata Usaha, ada tiga orang anak laki-laki yang sedang menguping pembicaraan Atian dengan Ibu Ratna. Mereka ingin tahu apa saja yang sedang dibicarakan Ibu Ratna kepada Atian—teman sekelas yang tidak mereka sukai.
Ahui berkata dengan suara pelan kepada dua orang temannya, "Eh, Atian udah jalan keluar, nih. Kita harus siap-siap, ya. Satu ... dua ... tiga ...."
Pada hitungan ke tiga, pintu ruangan itu terbuka. Atian tidak menyadari ada Ahui dan dua temannya berdiri di sana karena pikirannya terlalu fokus pada pesan Ibu Ratna tadi.
Ahui menjegal langkah Atian yang akan pergi ke kelas. Akibatnya, Atian tersungkur di depan ruangan Tata Usaha. Ahui dan kedua temannya tertawa keras.
"Makanya, kalau jalan itu lihat-lihat. Akhirnya, jatuh, 'kan?" ejek Ahui.
Aloi—salah satu teman Ahui—merebut surat yang dipegang Atian. "Eh, surat apa ini?"
Ahui dan Ali—teman Aloi—membaca surat itu dengan lantang. Beberapa siswa yang berlalu-lalang melewati depan ruang Tata Usaha, berhenti sejenak.
Malu, itu sudah pasti. Kini isi surat yang diberikan Ibu Ratna tadi sudah diketahui oleh teman-temannya. Atian berusaha menahan rasa kesalnya di dalam hati agar tidak terjadi keributan di depan ruangan tersebut. Ia ingat dengan kata-kata ibunya. "Walaupun orang lain berbuat jahat kepadamu, jangan dibalas. Jika kamu membalasnya, maka kamu sama saja dengan orang jahat itu."
Atian menarik napas panjang seraya mencoba berdiri sendiri. Tak peduli dengan lututnya yang terluka akibat terjatuh tadi, ia merebut kembali suratnya yang dipegang Ahui.
"Eh, Tian. Kalau kamu tidak mampu membayar uang sekolah, jangan bersekolah di sini! Ini sekolah elite! Untuk makan sehari-hari saja, kamu sudah kesusahan. Bagaimana orang tuamu bisa melunasi tunggakan?" ejek Ahui yang sengaja membuat Atian malu di depan teman-temannya.
Tidak berhenti di situ saja, Ahui kembali mempermalukan Atian. Ia bertanya kepada tiga siswi yang berdiri di dekat mereka, "Kalian mau tahu tentang orang tua Atian? Orang tua Atian itu punya utang banyak di toko papaku. Kalian pikirkan saja. Semua utang di toko papaku saja belum dilunasi, mana mungkin mereka bisa melunasi uang sekolah anaknya ini?"
"Apa kamu tidak kasihan dengan orang tuamu, Tian? Saran aku, lebih baik kamu pindah sekolah saja, Tian. Bila perlu, kamu berhenti sekolah saja," ucap Aloi dengan nada mengejek.
Ali menyetujui ucapan Aloi dengan berkata, "Benar kata Aloi, daripada menambah beban pikiran orang tuamu, Tian."
Ejekan teman-temannya itu membuat Atian tidak bisa lagi menahan rasa kesalnya yang semakin memuncak di dalam hati, apalagi membawa-bawa nama orang tuanya. "Kalian itu tidak tahu apa-apa tentang keluargaku! Apa yang terjadi pada keluargaku, itu bukan urusan kalian! Lebih baik kalian urusi saja masalah keluarga kalian masing-masing! Tidak perlu ikut campur masalah orang lain!" Usai mengatakannya dengan lantang dan tegas, Atian pergi meninggalkan Ahui dan yang lainnya dengan langkah tertatih-tatih.
Kata-kata Atian berhasil membungkam mulut Ahui dan kedua temannya itu. Tiga siswi yang berdiri di dekat mereka mendekat Ahui, Aloi, dan Ali. Siswi yang berambut panjang berkata, "Yang dikatakan Atian tadi benar, Hui. Kalian bertiga tidak sepantasnya mencampuri urusan keluarga orang lain. Keluarga kalian juga pasti mempunyai masalah, 'kan?"
"Coba bayangkan kalian yang berada di posisi Atian tadi! Apa kalian tidak malu diejek tentang masalah keluarga kalian di depan teman-teman?" tanya siswi yang berambut sebahu.
Siswi yang berkacamata menambahkan, "Aku yakin kalian tidak akan bisa setegar Atian."
"Kalian itu hanya bisa mengejek dan mempermalukan teman sendiri tanpa memikirkan perasaannya," lanjut siswi yang berambut panjang tadi.
"Ayo, kita pergi dari sini!" Siswi-siswi itu melangkah pergi.
Ahui geram dengan ucapan ketiga siswi tadi. Niatnya mempermalukan Atian, ia yang justru dipermalukan oleh teman-temannya.
***
Atian berjalan gontai menuju rumahnya. Dari kejauhan, ia bisa melihat rumah yang ia tinggali bersama orang tuanya. Rumah yang sederhana dan tidak terlalu besar. Dinding rumah terbuat dari papan yang sebagian sudah keropos dan berbubuk. Lantainya dari semen yang sebagian sudah berlubang. Di depan rumahnya ada teras. Ia dan keluarganya biasa bersantai di sana. Meski tidak sebagus rumah teman-temannya, ia bahagia dan sangat bersyukur bisa berteduh dan tinggal bersama dengan orang tuanya.
"Pa, Ma, aku pulang," ucap Atian seraya masuk ke rumahnya.
"Ganti baju dulu, Tian. Setelah itu, kita makan sama-sama," ujar Athuan—mamanya Atian—yang sedang menata sajian makan siang di teras depan.