"Kehidupan adalah sebuah pentas sandiwara yang megah. Sedangkan penontonnya adalah orang-orang terdekat. Maka sajikan pertunjukan terbaik, agar mereka bertepuk tangan"
Sael berdiri di bangunan beton terbengkalai di lantai dua sekolah, dengan pilar menjulang ke langit sore, dan angin sebagai dindingnya. Wajah putih Sael menengadah awan kelabu.
Awan yang kesepian, itulah pikirnya. Ia mendesah beberapa kali, desahan yang panjang dan penuh kekecewaan hidup. Lalu ia duduk di tepian gedung, sembari mengayun-ayunkan kakinya yang berbalut sepatu hitam.
Sael menatap jauh ke bawah. Latar pasir bergemuruh menerbangkan bubuk coklat. Pohon cemara yang menjadi penjaganya kian detik berguncang. Angin dari bawah beberapa kali mengangkat rambut kusut Sael dan membuatnya terpejam. Ia pikir angin itu adalah angin yang damai, angin yang menyenangkan, dan angin yang akan membawanya ke dalam ketenangan.
Tak lama setelah Sael menikmati kehangatan angin, awan kelabu menjemput aroma mendung. Angin yang awalnya hangat kini menggonggong pelan, mulai basah, dan menghantar butiran air ke tanah lapak bumi. Kian detik dan kian menit, air itu kian menyirami baju putih Sael. Sael tak mempermasalahkan hal itu. Ia tidak bangkit dari tempat duduknya ataupun sekedar bergeser untuk berteduh.
Tak apa. Seharusnya tak apa. Sebentar lagi bel pulang akan dibunyikan. Itulah yang membuat Sael menikmati rintikan hujan.
Sael menatap awan mendung yang kini berubah semakin pekat. Sepertinya itulah yang bisa diberikan alam untuknya. Alam menangisi segala kegundahannya. Namun tak sedikit pun air mata yang bisa Sael teteskan untuk menertawai alam.
“Kehidupan ini penuh kepalsuan! Dan tak ada yang mengharapkanku,” pekik Sael menengadah awan, seolah ia sedang mengutuk alam itu sendiri. Wajahnya kian berat dan basah dihantam tetesan hujan, tetapi ia tetap mendongakkan kepalanya yang dirundung kesedihan.
Hujan tidak lagi rintik, melainkan bertambah deras. Guntur bergejolak, membahana, dan menjerit-jerit seolah membalas kemarahan Sael.
“Baiklah! Sepertinya alam juga tak mau mendengarkanku,” ujar Sael.
Sael sepintas menatap latar sekolah yang kini berubah menjadi kanal-kanal kecil menghanyutkan dedaunan dan sampah. Sementara beberapa siswa-siswi berkeliaran di bawah payung warna-warni, yang lainnya terpaksa menepi di bawah atap sekolah, melindungi diri mereka dari guyuran hujan tanpa ampun.
Sael menghela nafas panjang. Udara dingin membuat nafasnya mengepulkan asap. Asap itu terbang ke atas dan menghilang meninggalkan tubuh Sael yang kini meluncur deras ke bawah.
Tubuh Sael menghempaskan udara dan membela keributan hujan. Tubuhnya lalu terpontang-panting merusak dahan dedaunan. Dan tatkala tubuh itu sudah berada di tanah, darah segar bergelimpangan membaur dengan genang hujan. Darah itu mengalir ke baju putih dan ke cela-cela celana abu-abunya.