"Kebanyakan manusia adalah aktor yang payah. Dia hanya tahu cara berakting tertawa dengan riang saat mereka menderita tetapi tidak bisa menangis dengan sendu saat mereka bahagia."
Ibu Lia memeluk putranya beberapa kali. Sael menolak dan terus mendorong tubuh ibunya. Namun, hal itu malah disalahartikan oleh Ibu Lia sebagai tanda balasan cinta putranya.
Pak Lumri, sopir Pak Hendri, menggotong beberapa koper Sael menuju bagasi mobil. Ibu Lia memastikan bahwa semua peralatan Sael tidak ketinggalan.
“Mungkin inilah waktu tersulit bagiku,” keluh Ibu Lia kepada Bu Pisi, pembantu rumah tangga di rumahnya. Bu Pisi mencoba menenangkan majikannya dengan membawakannya tisu yang terus dicabuti Ibu Lia tanpa henti, saat melihat Sael yang duduk di kursi roda yang dipapah masuk Pak Lumri ke dalam mobil.
Ibu Lia sudah berdebat hebat dengan suaminya. Ia berkali-kali menentang kebijakan Pak Hendri karena tidak ingin berpisah dari anaknya. Namun, Pak Hendri adalah tipikal orang yang tak terbantahkan. Dibutuhkan dua puluh mulut Ibu Lia yang meratap sepanjang malam baru bisa mengubah keputusan Pak Hendri.
Pak Hendri membenarkan kancing kemejanya, lalu melihat arlojinya yang masih menunjukkan pukul 06.00, dan menghampiri Sael untuk membenahi kerah baju Sael yang agak tertekuk. “Aku kemarin telah mendapat balasan dari Pak Rohman, ia berkata akan memberimu sambutan kecil-kecilan. Kau harus tersenyum meskipun itu hanya sebuah kue tar yang dekorasinya acak-acakan.”
“Aku mungkin akan membuatnya lebih serabutan,” desah pelan Sael.
“Kau akan menyukainya,” Pak Hendri memegang pundak Sael, setelah selesai merapikan bajunya. “Kata Pak Rohman. Mereka semua baik, atau mungkin hanya beberapa anak saja yang kebaikannya sedikit di atas rata-rata.”
“Apa maksudnya?”
“Kau akan mengerti setelah di sana.” Pak Hendri menyingkir dari dalam mobil dan berdiri tegak di depan Sael. “Jangan pernah menyalahkan keadaanmu. Karena inilah yang ingin alam ajarkan kepadamu. Tuhan masih memberimu kehidupan, karena Tuhan tahu, jika kau akan belajar banyak hal dari ini.”
“Ya, aku tahu! Dan sekarang aku baru tahu, orang yang jatuh dari lantai dua sekolah tidak akan mati, tetapi akan merasakan penderitaan yang luar biasa, ditambah lagi harus kehilangan kakinya,” balas Sael dengan tatapan sayu.
Pak Hendri menggelengkan kepalanya, menutup pintu mobilnya, dan memberi isyarat kepada Pak Lumri untuk berangkat setelah Ibu Lia puas memeluk Sael dengan erat, diikuti ratapan yang tiada henti. Tetapi, sebelum mobil sempat bergerak, Pak Hendri mengetuk kaca mobil Sael.
“Ada yang lupa aku sampaikan kepadamu.”
“Apa papa akhirnya berubah pikiran.” Mata Bu Lia berbinar-binar.
“Kau tidak salah, Sael.”
“Apa?”
“Ketika kau dibenci oleh semua orang, tetapi kau tidak melakukan kesalahan apapun. Bukan dirimu yang salah, tetapi lingkunganmu yang salah. Maka pindahlah dari tempat itu, supaya kau mengerti, tidak semua orang membencimu, akan ada suatu tempat yang menghargai dirimu. Dan ingatlah ini: ketika kau mempunyai tekad yang besar, maka kau akan melupakan semua ketakutan dan rasa sakitmu.”
Mobil melaju cepat menembus jalan tol, keluar dari jalan raya dan berakhir memasuki hutan lindung. Cahaya tak tertembus, tertahan lebatnya dedaunan di kanan kiri jalan. Jalannya terkadang berlubang, tergenang lumpur dari sisa-sisa air hujan. Hawa dingin merayap memasuki jendela mobil yang terbuka, menyapa wajah cemas Sael dan membuatnya menggigil.
Pak Lumri menawarkan menutup kaca jendela, tetapi Sael menolaknya. Ia lebih suka sensasi angin saat ini. Untuk sesaat, angin segar itu dapat mengusir kecemasannya ketika membayangkan bagaimana dirinya di sekolah tujuannya nanti. Sael tak pernah sekalipun berkunjung ke sekolah itu. Ia hanya sering mendengar cerita dari ayahnya. Sael sering diajak ke sana, tapi ia selalu menolaknya. Sael terus mencari alasan untuk menolak setiap ajakan ayahnya. Alasan mendasarnya adalah sebisa mungkin Sael tak ingin bersama ayahnya. Bagi Sael, dirinya adalah sisi lain koin dari ayahnya. Ayahnya adalah sosok yang menyilaukan, sempurna dan dapat melakukan apapun yang ia mau, sedangkan dirinya hanya bayangan hitam. Semakin berkilau ayahnya semakin gelap dirinya.
Satu jam berlalu, hutan lebat telah berganti pemandangan desa asri. Hamparan padi menguning siap panen, jalan bergejolak tanpa aspal, hanya batuan kerikil yang menahan ban mobil agar tak terjebak di jalan berlumpur. Warga berjalan beriringan di pinggir jalan sembari membawa cangkul, mereka tersenyum hangat memberi ruang saat mobil melaju lambat. Entah mereka kenalan pak Lumri atau bukan, tetapi pak Lumri juga tersenyum, menganggukkan sedikit kepalanya sambil berkata “Nuwon sewu” dan seperti dikomando, para warga serempak menjawab “monggo” jalan kecil itu sesak, tetapi terasa lebar.
Setelah setengah jam perjalanan menelusuri desa, akhirnya mobil berhenti di depan sebuah tugu keramik putih bertuliskan “Ar-rohma”. Pak Lumri mengeluarkan kursi roda dari bagasi, membukakan pintu Sael dan memapah Sael duduk tegas di atas kursi rodanya. Lalu Pak Lumri mencangking barang-barang Sael, sementara Sael terus memutar roda kursinya menanjaki jalan setapak miring yang landai.
Ketika Sael melanjutkan perjalanannya melalui lorong yang ramai, tiba-tiba dia berpapasan dengan dua anak kembar yang sedang berlari mengejar satu sama lain. Salah satu dari mereka, dengan satu lengan bajunya berkibar-kibar, memegang erat sebuah topi putih, sementara yang lain, dengan tubuh yang lebih besar, menggunakan kaki palsu dan memegang sepasang sepatu wanita berwarna hitam. Di belakang mereka, seorang suster dengan rambut panjang yang terurai dengan tidak teratur berusaha mengejar mereka dengan geram. Suster itu berlari tanpa alas kaki, sambil berteriak meminta mereka berhenti dan mengembalikan barang yang mereka pegang.
Berkat teriakan suster yang keras itu, seorang gadis dengan mata terpejam yang menyentak-nyentak tongkatnya di lantai berhenti. Ia menepi dan menggeleng-gelengkan kepala, seolah hal itu telah terjadi ratusan kali.
Sael melanjutkan perjalanannya. Ia lalu berhenti sejenak untuk melirik taman bunga. Di taman itu ada beberapa kelompok yang berkumpul sambil bercakap-cakap dengan gerakkan tangan. Ada pula seorang pria yang mencoba menggoreskan kanvas dengan kuasnya di bibirnya. Ada pula seorang gadis yang mencengkeram biola dengan kaki dan menggesekkan Bownya dengan mulut. Iramanya merdu, ritmenya pelan dan lantunan yang indah seolah itu menjadi suara latar yang telah dipersiapkan untuk menyambut kedatangan Sael, tetapi Sael hanya berkhayal karena musik yang indah itu tidak hanya dinikmati oleh dirinya.
Sael tersenyum pelan. Ia merasa gambaran tentang sekolah ini lebih baik daripada yang dibayangkan. Gedung sekolahnya menyerupai rumah sakit, terutama karena ada seorang pria yang berpakaian seperti dokter dan beberapa suster yang berjalan-jalan di lorong-lorong, sesekali menyapa Sael. Mungkin, gedung itu awalnya adalah rumah sakit yang kemudian diubah fungsi menjadi sekolah. Namun, kebaikan itu hanya berlangsung sebentar dalam pikiran Sael sebelum ia mengalami kekacauan.
“Kami akan memberikanmu tur kilat “ujar laki-laki yang tadi sempat berkejar-kejaran dengan si Suster.
“Benar, kami akan membuatmu cepat mengenali ruangan ini.” Tambah saudaranya, dan sesegera mendorong kursi roda Sael dengan cepat sementara itu Sael berteriak-teriak seperti ibu-ibu yang akan melahirkan.
Suster yang baru saja menyadari kejadian gila itu, tak kalah paniknya dan berlomba-lomba dengan Pak Lumri menyambung-nyambung suara peringatan bahaya.
Bunyi roda berdecit, Sael berbelok tajam, sisi kanan rodanya bahkan sempat terangkat beberapa inci, hingga membuat badan Sael condong ke sebelah kiri dan membuatnya harus menjerit lebih keras, tetapi sang pendorongnya malah tertawa terbahak-bahak. Lalu mereka kembali mendorongnya mengitari ruangan. Sementara itu sang suster memegangi kepalanya saat ia mengira Sael akan menabrak pilar.
Kedua orang yang mendorong Sael menyebutkan setiap inci nama-nama ruangan yang mereka lewati, tetapi Sael tak memperdulikan hal itu, ia berulang kali berteriak-teriak untuk berhenti, akan tetapi kata “berhenti” bukanlah kata sandi yang tepat untuk menghentikan kekonyolan dua orang itu.
“Celaka!” bentak salah satu laki-laki pendorong Sael, tatkala mereka melihat sang Suster berhasil mendahului mereka dan membentangkan tangannya.
“Segera putar haluan!” ujar saudaranya yang tak berlengan, dan segera mungkin mereka mengerem kursi roda Sael dan memutarnya bagaikan ban mobil yang tergelincir di tengah jalan licin. Hal itu pula yang membuat Sael tambah menjerit. Namun Tuhan mengakhiri penderitaan Sael, mereka telah terkepung, di belakang mereka ternyata ada Pak Lumri yang juga membentangkan tangannya untuk menghadang mereka.
“Minta maaf!” Suster menundukkan kepala kedua saudara tadi, dan tersenyum hangat kepada Sael. Namun Sael memandang mereka tajam.
“Maaaff” ujar mereka berbarengan.