Secercah Asa

Corla Lums
Chapter #3

Makan Malam

“Teman terbaik adalah Kesepian, karena ia tak pernah pergi terlalu lama dari hati manusia. Dan teman terburuk adalah cinta, karena ia suka datang dan pergi beberapa kali, sebelum akhirnya mengusir kesepian dan menjadi penghuni di hati yang tepat.”


Makan malam bersama. Itulah yang dikatakan Ardi kepada Sael saat mengajaknya ke kantin untuk bertemu dengan beberapa anak yang belum dikenalkan Ardi. Mereka berjalan di lorong yang diterangi oleh lampu-lampu neon terang, yang memberi jalan bagi mereka yang takut kegelapan agar tidak tersesat. Awan senja perlahan menyapu langit malam, memudar dan meninggalkan waktu dan kesunyian. Ardi mendorong kursi roda Sael dengan perlahan, menyusul beberapa anak yang pergi ke arah yang sama.

“Anak-anak di sini selalu makan bersama di kantin. Tetapi mungkin terasa agak aneh bagi pendatang baru sepertimu.”

“Mengapa?”

“Aku kesulitan menjelaskannya. Mungkin kamu akan memahaminya sendiri ketika melihatnya.”

“Hai, Sael,” sapa Dika, diikuti oleh Raka yang tiba-tiba muncul dari taman, seperti hantu yang datang dari kegelapan.

“Kamu sudah kenal dengan mereka?” tanya Ardi.

“Iya, mereka yang menjadi penyambutku,” bisik Sael, membuat Dika dan Raka tersenyum malu-malu.

“Apakah kamu siap untuk masuk ke medan perang?” goda Dika.

“Kita akan makan malam, kan?” balas Sael.

“Kamu tidak mengerti, Sael. Inilah medan perang kita,” kata Raka, menatap Ardi. “Apakah kamu belum menjelaskan ini pada Sael?”

“Aku tak ingin membebani Sael dengan pikiran liar kalian,” jawab Ardi.

Raka mengeluarkan pita merah dari sakunya. “Kamu harus memakai ini, dan ikatkan di kepalamu sebagai bukti bahwa kamu adalah bagian dari pasukan kami.”

“Kamu tak perlu mendengarkan mereka, Sael,” kata Ardi sambil mendorong kursi Sael menembus Dika dan Raka.

“Aku sudah menganggapmu sebagai bagian dari pasukanku,” tambahnya.

“Benar, kamu tidak harus menjadi bagian dari Si Keili, Sael,” sela Dika. “Aku akan bergabung setelah kami merencanakan strategi yang matang.”

“Apa maksud mereka?” tanya Sael.

“Meskipun kau tidak harus mengikuti mereka, kamu harus tetap bersiap. Makan malam akan ramai. Kantin selalu buka saat jam makan, tapi tidak ada yang memaksamu untuk makan di sana. Beberapa anak memilih makan di kamar mereka dan hanya mengambil makanan dari kantin. Yang lainnya bergiliran untuk mengambilkan makanan,” jelaskan Ardi.

“Seperti saat kau mengambilkan makan siang tadi,” tambah Sael.

“Iya, besok pagi kamu yang akan mengambilkan makanan untukku,” jawab Ardi.

“Kenapa tidak saat makan malam?” tanya Sael.

“Karena ada aturan tidak tertulis yang kami ikuti. Makan malam adalah waktunya berkumpul. Entah siapa yang memulainya, atau mungkin karena manusia pada dasarnya adalah makhluk sosial. Mereka selalu mencari alasan untuk berkumpul karena saling membutuhkan,” jelas Ardi.

“Mungkin tidak sepenuhnya benar. Manusia berkumpul untuk mempertegas kekuasaan kelompoknya,” sahut Sael.

Ardi hanya diam tanpa menjawab. Mereka berjalan terdiam hingga tiba-tiba sudah di depan pintu kantin. Sael melihat tiga anak dengan pita merah di kepala mereka sedang menunggu seseorang. Salah satunya memiliki pipi tembam dan tak memiliki lengan kiri, dua lainnya bermuka cekung, satu orang yang bermuka cekung memiliki mata dengan kacamata setebal Ardi, dan yang lainnya memiliki rambut poni dan dua jari yang menyatu. Mereka saling pandang dengan gelisah, sesekali menengok ke arah pintu dengan cemas.

“Apa yang kalian lakukan di sini?”

Lihat selengkapnya