Ponsel berwarna putih milik Gibran saat ini sudah berada di genggaman Renata. Perasaan gadis itu mulai tak karuan.
"Cantik kan?" tanya Gibran sambil tersenyum bahagia.
Indera pendengaran Renata saat ini seperti tidak berfungsi. Otaknya masih mencerna semua ini. Ini kenyataan. Bukan mimpi belaka. Renata mencoba memandang foto di layar ponsel Gibran. Sayangnya foto wanita itu bukan ... dirinya.
"Re," panggil Gibran lagi. Ada yang aneh saat dia memandang ekspresi Renata. Bukan itu yang ia inginkan.
Gibran menyentuh lembut tangan Renata. Tapi, sahabat baiknya masih bergeming.
"Re, kamu nggak apa-apa?" tanya Gibran penasaran.
"Hei, iya, Gib." Renata kaget. Berusaha mengumpulkan puing-puing kesadarannya kembali.
"Aku nggak apa-apa. Mungkin aku terlalu kaget saja. Akhirnya sahabatku sebentar lagi mau menikah. Selamat ya," ucap Renata riang dan mencoba tertawa sealami mungkin. Namun, di dalam sana hatinya sudah tidak utuh lagi.
"Memangnya kamu ketemu perempuan itu dimana? O, iya namanya siapa?" tanya Renata lagi agar terlihat seolah-olah dia saat ini sedang antusias tentang kabar bahagia Gibran. "Aku penasaran kamu pake jampi-jampi apaan sih kok dia sampai mau sama kamu," lanjut Renata meledek lagi lalu tertawa.
"Namanya Sheila. Aku baru ketemu sekali sama dia. Tapi entah kenapa, aku merasa dia orang yang tepat," kata Gibran sambil tersenyum memandang foto Sheila di layar ponselnya. "Sheila mulai minggu depan kerja di Jakarta. Nanti aku kenalin ya, Re," kata Gibran lagi.
Renata hanya mengangguk sambil tersenyum yang tentunya dia kuatkan semampunya. Tiba-tiba, rasa mual melanda perutnya dan mendesak hingga ke kerongkongannya.
"Bentar ya Gib, aku ke toilet dulu," pamit Renata dengan suara perlahan agar sebisa mungkin dia menahan gejolak di perutnya.
"Re, kamu nggak apa-apa kan? Re, aku anter …." Belum sempat Gibran menyelesaikan kalimat, Renata sudah pergi meninggalkannya.
*****
Di dalam bilik toilet, Renata menumpahkan semua isi perutnya berbarengan dengan rinai air mata yang sedari tadi tertahan di pelupuk mata. Di sini dia bisa sepuasnya menumpahkan semua perasaan dan kesedihannya. Ia lelah hingga ingin melepas topeng kebahagiaan dengan berat sekian ton, demi Gibran. Lelaki yang terlanjur ia pilih untuk mengisi setiap relung hatinya dan menancapkan akar yang sudah terlanjur kuat di sana.
Betapa kesal Renata akan pilihan Gibran. Bagaimana bisa Gibran jatuh cinta dengan Sheila yang hanya baru bertemu sekali saja.
Sedangkan beberapa meter di luar toilet sana, Gibran menunggu Renata dengan perasaan tidak enak. Sudah lebih dari lima belas menit lamanya. Hingga ia terpaksa meminta tolong seorang pelayan restoran untuk mengecek Renata yang sedang berada di toilet.
"Mbak, tolong lihatin pacar saya, oh maksudnya sahabat saya yang lagi di toilet, namanya Renata. Dari tadi belum keluar juga," pinta Gibran mulai panik.
Pelayan tadi segera menuju ke toilet perempuan. Akhirnya, ia menemukan seorang wanita berparas ayu dengan mata yang masih sembab.